Di ketinggian 600 meter di atas permukaaan laut, Pinus terlihat berjalan menurun. Ia hendak ke perkampungan (pasar), bermaksud membarter buah dari hutan dengan makanan pokok dan bahan-bahan kosmetik yang ia perlukan. Untuk mencapai lokasi perkampungan, ia perlu menempuh perjalanan kurang lebih lima kilo meter.
Pinus terus berjalan. Ia hampir tiba di kawasan perkampungan. Namun, seketika
kaki Pinus tertahan, debu-debu beterbangan mengenainya. Ia menutupi sebagian wajahnya
dengan sebelah lengan, sedang sebelah tanggannya yang lain menjinjing karung
berisi buah-buahan. Pinus belum membuka kedua matanya. Dalam mata terpejam itu Pinus
mendengar suara kuda berjingkrak. Dan, gertakan seorang pemuda memenuhi gendang
telingaya.
“Hei, apa kau mau mati!? Cepat minggir!”
Pinus menjatuhkan posisi lengannya. Saat matanya memicing, ia melihat dua
orang pemuda tengah menunggangi kuda.
“Kenapa kau masih berdiri di situ, hah!?” teriakan dari pemilik suara
yang sama. Sementara pemuda di sebelahnya sepatah pun tidak mengeluarkan suara.
Dua pemuda itu tampaknya berasal dari kerajaan.
“Cepat menyingkir!” suara itu kembali berteriak.
Pinus menepi. Ia mempersilakan kedua pemuda itu melewati jalan yang tadi
dilaluinya. Pemuda yang sepatah pun tidak mengeluarkan suara, memacu kuda lebih
dulu, namun pelan. Pemuda itu menatap Pinus, dalam, begitu pula sebaliknya. Sejenak
keduanya saling bersitatap.
Pemuda yang berteriak itu adalah Pengeran Settu, dan pemuda yang bersamanya
tidak lain sepupunya sendiri. Mereka berdua masih berkerabat dengan raja dari
Kerajaan Melayu.
Pangeran Settu tampak heran melihat saudaranya. “Ayo, Pangeran Merku,
matahari hampir terlegelincir.”
Pemuda yang dipanggil Pangeran Merku menoleh, lantas mengangguk. Ia
memacu kudanya, diikuti oleh Pangeran Settu di belakangnya.
Pinus belum pernah melihat kedua pemuda itu sebelumnya. Ia memandangi
keduanya pergi, hingga bayang-bayang mereka menghilang di balik pepohonan.
***
Posisi matahari di atas ubun-ubun saat Pinus melalui jalanan menanjak,
menuju tempat tinggalnya. Ditentengnya bahan-bahan kosmetik hasil dari
membarter, ada kayu manis, kunyit, akar bit, dan bahan-bahan lainnya. Karena
memang, gadis-gadis di perkampungan mengenal Pinus pandai memoles wajah. Pinus
sering diminta merias ketika ada acara besar. Mereka menjuluki Pinus perias
dari pedalaman.
Pinus hampir tiba di rumah, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar
suara rintihan seseorang. Pinus mencari asal suara, ia semakin dekat. Betapa
kagetnya Pinus ketika melihat dua orang pemuda tergeletak tak berdaya, bersimbah
darah. Dua pemuda itu adalah pemuda penunggang kuda yang tadi ia temui di
kawasan perkampungan.
“Astaga, a-apa yang terjadi?” Pinus tergagap, tangannya reflek
menjatuhkan barang-barang yang ditentengnya.
“To-tolong …” desis Pangeran Merku.
Tanpa banyak berpikir, Pinus segera menghampiri Pangeran Merku. Ia membalutkan
kain ikat pinggangnya pada perut Pangeran Merku. Pinus berpindah memeriksa
pernafasan Pangeran Settu dan mengecek denyut nadinya. “Dia tidak selamat.
Sepertinya karna kehilangan banyak darah,” terang Pinus.
Pangeran Merku memegangi lengan Pinus, menatap lekat-lekat. Pangeran Merku
kemudian tak sadarkan diri.
Pinus tidak perlu berpikir panjang. Ia segera berlari menuju rumahnya,
hendak meminta pertolongan pada ayahnya.
***
Dua bulan berlalu.
Pangeran Merku merasa damai tinggal di kediaman Pinus dan ayahnya. Ia
sudah melupakan kejadian perkelahiannya dengan Pangeran Settu. Pangeran Merku
dan Pangeran Settu sebenarnya berteman sejak kecil, mereka juga berkerabat.
Namun sejak Pangeran Merku dijodohkan, Pangeran Settu menyimpan rasa tidak suka
pada Pangeran Merku. Pasalnya Pangeran Settu tidak menyukai perjodohan Pangeran
Merku dengan Putri Janara—gadis yang diam-diam Pangeran Settu sukai. Pangeran
Settu hendak melenyapkan Pangeran Merku di tengah hutan, dengan berpura-pura
mengajak berburu ke tempat yang jauh, hanya berdua, tanpa didampingi pengawal.
Pada akhirnya, yang meregang nyawa justru Pangeran Settu sendiri. Jika Pangeran
Settu mau mendengarkan penjelasan Pangeran Merku, kejadian dua bulan yang lalu mungkin
tidak akan pernah terjadi. Pangeran Merku tidak pernah menyukai Putri Janara,
ia akan dengan senang hati merelakan Putri Janara untuk Pangeran Settu.
“Minumlah ini,” Pinus datang menyodorkan ramuan.
Pangeran Merku tersadar dari lamunanya. Ia tersenyum, menerima pemberian
Pinus. “Terima kasih.”
Pinus duduk di sebelah Pangeran Merku. “Apa kau tidak mau pulang ke
kediamanmu?” Pinus belum tahu kalau lelaki yang duduk di sebelahnya adalah
seorang pangeran, kemenakan seorang raja dari Kerajaan Melayu.
“Kau kebaratan aku tinggal di sini lebih lama lagi?”
Pinus mengeleng. “Bukan begitu. Maksudku, kedua orang tuamu pasti bingung
mencari-cari keberadaanmu.”
Pangeran Merku menatap Pinus lekat-lekat. Pinus membalas tatapan itu.
Hati Pinus berdesir, begitu pun hati Pangeran Merku. Tatapan keduanya persis seperti
pada saat pertama kali mereka bertemu.
“Pinus, bagaimana menurutmu jika aku tinggal di sini selamanya?”
Mendengar pertanyaan itu, wajah Pinus merona. Ia mengerti arah
pembicaraan Pangeran Merku.
Pinus mengalihkan pandangan, menghela nafas. “Kau tidak sedang merayuku,
bukan?”
Pangeran Merku tergelak. “Benar, aku memang sedang merayumu.”
“Kau bilanglah ke Ayah bagaimana baiknya,” jawab Pinus tersipu.
Pinus merasakan hawa panas di wajahnya. Ia berdiri, berbalik arah, hendak
memasuki rumah.
“Tunggu …” Pangeran Merku menahannya. “Apa artinya, kau mau menerimaku?”
Pinus tidak menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan senyum, lantas
berlari ke dalam rumah. Hati Pinus seperti ditumbuhi bunga-bunga, bermekaran
penuh warna.
Pangeran Merku bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia mengahadap Ayah
Pinus yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Pangeran Merku meminta
restu dari Ayah Pinus. Ia bermaksud mempersunting Pinus.
***
Hari pernikahan Pinus dengan Pangeran Merku dilangsungkan secara
kecil-kecilan. Ayah Pinus hanya mengundang warga terdekat sebagai saksi
pernikahan. Ayah maupun warga tidak banyak bertanya pada Pinus maupun pada
Pangeran Merku, mereka tidak begitu peduli dari mana asal Pangeran Merku. Yang
mereka tahu, Pangeran Merku adalah seorang pengembara yang baik hatinya.
Begitu cepat waktu berlalu. Meski berasal dari keluarga kerajaan, Pangeran
Merku belum pernah merasakan ketenangan dan kebahagiaan seperti pada saat ia
bersama Pinus. Apalagi ia akan menjadi seorang ayah. Ia akan memiliki anak dari
Pinus, wanita yang amat ia cintai.
Semenjak Pinus hamil, Pangeran Merku tidak mengizinkan Pinus bepergian
jauh. Maka, Pangeran Merkulah yang pergi ke perkampungan, membarter hasil
tanaman hutan dengan makanan pokok atau dengan perkakas rumah tangga.
Baru saja Pangeran Merku menyelesaikan transaksinya ketika mendengar dua
warga tengah membicarakan kabar dari Kerajaan Melayu. Pangeran Merku mendengar saudara
perempuan Raja yang tidak lain adalah ibunya, saat ini sedang sakit keras.
Seketika paras Ibunda terbayang-bayang dalam benak Pangeran Merku. Ia ingin
tahu keadaan ibundanya. Ia harus pulang.
Pangeran Merku memacu kudanya dengan sangat kencang, berharap segera
sampai di rumah, menemui Pinus dan ayahnya, meminta izin pulang ke tempat asalnya.
“Jadi kau mengizinkan aku pergi?”
Pinus tersenyum, mengangguk. “Pergilah, ibumu pasti amat merindukanmu.”
Pangeran Merku meraih Pinus dalam pelukannya. Jika saja Pinus tidak dalam
kondisi hamil tua, ia pasti akan mengajak Pinus ikut serta.
Pangeran Merku melepaskan pelukannya. Ia meraih tangan Pinus dan memberi
Pinus sesuatu. “Tanamlah benih ini setelah kepergianku. Rawat ia seperti kau
merawat anak kita.”
Pangeran Pinus mencium kening istrinya, kemudian berganti mencium tangan
ayah mertuanya. Pangeran Pinus pergi dengan membawa dua kekahawatiran. Khawatir
akan keadaan ibunya nun jauh, dan khawatir mengenai kondisi Pinus beserta bayi
yang dikandungnya.
***
Pinus merasa hari-hari berjalan dengan berat semenjak kepergian Pangeran
Merku. Sudah tiga tahun berlalu, namun Pangeran Merku tidak pernah kembali.
Siang itu, Pinus menemani putri kecilnya bermain di samping rumah, tepat
di bawah pohon tusam yang tingginya kian hari kian menjulang. Usia pohon tusam
sama dengan usia putrinya. Pinus memberi nama Kussi kepada putrinya.
“Pinus …” Seorang perempuan memanggil Pinus.
Perempuan itu tetangga Pinus. Ia datang bersama tiga orang lelaki dan dua
orang wanita tak dikenal.
“Pinus, ada pengawal Kerajaan Melayu datang mencarimu.”
Kedua alis Pinus bertaut. Ia tidak mengenali tamunya, dan tidak bisa
menebak apa keperluan mereka padaya.
Dua wanita berpakaian pelayan istana menghampiri Pinus, menjelaskan
maksud kedatangan mereka. Keberadaan Pinus sebagai perias dari pedalaman amat
mashur di istana, untuk itulah keluarga Kerajaan Melayu meminta Pinus merias
pengantin dari keluarga kerajaan. Kemenakan dari Raja Melayu akan melangsungkan
pernikahan dengan putri dari seorang raja dibawah kekuasaan Kerajaan Melayu.
Atas persetujuan ayahnya, Pinus menerima tawaran yang disampaikan melalui
kedua wantia pelayan istana itu. Siang itu juga Pinus ikut bersama mereka.
Pinus tidak membawa Kussi turut serta, ia mengkhawatirkan kondisi Kussi jika mengajaknya
menempuh perjalanan jauh.
Selama perjalanan menuju istana, kedua wanita pelayan tidak pernah bosan
menanyakan kehidupan Pinus maupun menceritakan kisah di istana. Termasuk
menceritakan bagaimana kedua calon pegantin yang akan Pinus rias akhirnya bisa
kembali merencanakan pernikahan, ialah Pangeran Merku dan Putri Janara. Satu
tahun lebih Pangeran Merku menghilang. Ketika pengawal kerajaan menemukannya,
kondisi Pangeran Merku amat mengkhawatirkan. Para pengawal menduga Pangeran
Merku terjatuh dari bukit beserta kudanya. Pangeran Merku membutuhkan satu
setengah tahun untuk memulihkan kesehatannya. Pangeran Merku juga tidak dapat
mengingat kejadian yang dilaluinya selama satu tahun ia menghilang.
Hati Pinus berdesir ketika mendengar nama Merku disebut-sebut. Ia
teringat suaminya. Pinus sempat berpikir, apakah Pangeran Merku yang dimaksud
kedua pelayan itu adalah Merku suaminya? Bisa jadi karena Merku hilang ingatan,
menjadi sebab Merku tidak pernah kembali padanya. Tapi sepertinya tidak mungkin.
Merku mengatakan ia adalah seorang pengembara, bukan seorang pangeran.
Rombongan yang menjemput Pinus tiba di kawasan Kerajaan Melayu, setelah hampir
dua hari perjalanan. Rombongan mereka datang tepat di hari pernikahan Pangeran
Merku dan Putri Janara akan dilangsungkan. Pinus dengan didampingi kedua
pelayan berjalan menuju kamar Ibunda Pangeran Merku.
“Kamu amat cantik, Nak. Tidak salah kalau kamu memiliki kemampuan merias,”
puji Ibunda Pangeran Merku pada Pinus.
Ibunda Pangeran Merku mengajak Pinus ke bilik di dalam kamarnya. “Tolong,
riaslah Pangeran Merku. Buat luka di pipinya tidak terlihat.”
Ibunda Pangeran Merku dan para pelayan meninggalkan Pinus di depan pintu
bilik.
Pinus melangkah masuk. Seketika Pinus terkesiap begitu melihat Pangeran
Merku. Otot-otot di seluruh tubuhnya melemas. Detak jantung Pinus juga bepacu
lebih kencang dari biasanya. Dan di sudut hati Pinus, ia merasakan seperti ada sesuatu
yang menggoresnya, ngilu.
Pinus berbalik ke arah berlawan ketika Pangeran Merku menyadari
kedatangannya.
“Kaukah perias suruhan Ibu?”
Tidak salah lagi. Suara itu milik suaminya, Merku. Pinus mengenalinya
dengan baik. Masalahnya, kini Merku tidak mengingat Pinus. Apa yang harus ia
lakukan?
Pinus mengembuskan nafas perlahan. Ia meyakinkan dirinya agar tidak
terpengaruh akan perasaannya. Pinus membalikkan badan, ia berjalan medekati
Pangeran Merku.
Kedua tangan Pinus cekatan memoles bagian pipi Pangeran Merku, namun
tangannya gemetar. Hampir saja kosmetik di tangan Pinus terjatuh ketika
tatapannya beradu dengan Pangeran Merku.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Sedari tadi Pangeran Merku tidak
mengalihkan pandangannya dari Pinus.
“A-apa Pangeran pernah melihatku?” bibir Pinus bergetar.
“Aku tidak ingat. Tapi, sepertinya kita pernah saling kenal.”
“Mungkin hanya perasaan Pangeran saja,” sahut Pinus seraya membelakangi
Pangeran Merku, merapikan kosmetik yang dibawanya. Tanpa diketahui Pangeran
Merku, Pinus menyeka pipinya.
Urusan Pinus merias Pangeran Merku telah selesai. Pinus tidak berniat
menceritakan jati dirinya kepada Pangeran Merku. Biarlah waktu yang menyingkap
rahasia itu. Pinus yakin, suatu saat, Merku suaminya akan kembali. Siang itu
juga Pinus pulang, kembali ditemani tiga pengawal dan dua wanita pelayan istana.
***
“Kussi, untuk saat ini ayahmu tidak
bisa pulang. Ayahmu tidak bisa mengingat kita. Tapi pada saatnya nanti, ayahmu
pasti kembali. Dia akan menjemputmu, Sayang.”
Kalimat itulah yang selalu diingat Kussi. Kini, usia Kussi sembilan tahun.
Ia cukup mengerti penjelasan dan wasiat ibunya, sebelum ibunya wafat karena
sakit. Tentang pohon tusam yang harus ia rawat, tentang siapa ayah kandungnya,
Kussi lebih dari sekedar mengerti dan memaklumi.
“Hei anak kecil, cepat menyingkir!” hardikan seorang pengawal begitu
lantang, jarak dua meter dari tempat Kussi berdiri, di tengah jalan memasuki
pintu gerbang perkampungan.
Kussi tidak bergeming. Tatapannya tidak lepas dari Pangeran Merku. Ia
tahu, lelaki di hadapannya tidak lain adalah ayah kandungnya.
“Kau tidak mendengar ya, cepat minyingkir atau …”
“Biarkan dia, Topu,” potong Pangeran Merku.
Pangeran Merku turun dari kudanya, melangkah mendekati Kussi. “Kau hendak
ke mana, Nak?”
“Aku mendengar, Anda mencari obat untuk putra Anda yang sedang sakit. Aku
bisa menujukkan obat itu.”
Pangeran Merku tersenyum, merasa mengenali tatapan Kussi. Pangeran Merku
menyetujui tawaran Kussi.
Kussi turut menunggangi kuda, duduk di belakang Pangeran Merku. Bersama
Kussi dan Topu, Pangeran Merku menuju tempat mereka bisa mendapatkan obat, di
rumah Kussi.
Sepanjang perjalanan, Pangeran Merku mengenali jalur yang dilaluinya.
Berkelebat pula potongan-potongan kejadian yang pernah Pangeran Merku alami.
Perkelahiannya dengan Pangeran Settu, dan, sosok perempuan yang pernah
meriasnya di hari pernikahannya dengan Putri Janara. Pangeran Merku bisa
mengingat waktu yang ia lalui bersama perias itu.
Pangeran Merku dan Topu tiba di depan rumah Kussi. Kakek Kussi (Ayah
Pinus) yang pada saat itu ada di dalam rumah, keluar, menghampiri Pinus dan
Pangeran Merku.
“Merku, kaukah itu, Nak? Kau kembali, Merku?”
“Benar, Kakek. Tapi Pangeran Merku datang untuk mencari obat,” jawab
Kussi
Pangeran Merku hanya diam, ia berusaha mengingat wajah orang tua yang menyapanya.
Sementara Topu terlihat bingung dengan sikap Pangeran Merku sejak berjumpa
dengan Kussi. Ia juga tidak banyak bicara.
Kakek Kussi menyentuh bahu Pangeran Merku. “Kau tidak mengenali Ayah,
Merku?” matanya berkaca-kaca. “Aku ayah mertuamu. Aku ayah Pinus. Kau ingat
Pinus istrimu?”
Lidah Pangeran Merku tercekat. Kilas potongan-potongan kejadian terdahulu
memenuhi memorinya. Pangeran Merku dapat mengingatnya, mengenai siapa perempuan
perias itu. “Pi-Pinus …”
Kussi mendesah. “Pangeran Merku tidak ingat, Kakek. Sudahlah!” Kussi
tidak ingin kakeknya terlalu berharap Pangeran Merku bisa mengingat semuanya.
“Bukankah Anda ke sini karena ingin mendapat obat? Mari, akan aku
tunjukkan tempatnya.”
Pinus membawa Pangeran Merku ke dekat pohon tusam tumbuh. Topu membuntut
di belakang.
“Ini namanya pohon tusam. Ibuku yang memberikan nama.”
Pinus memungut bunga tusam yang lepas dari rantingnya, menyerahkannya
pada Pangeran Merku. “Itu bunga tusam, Pangeran. Selama ini bunga pohon tusam
selalu menguncup. Kata ibu, bunga tusam bisa menjadi obat ketika mahkota
bunganya merekah. Namun sayangnya, ibuku sudah wafat. Dan hanya kedua orang
tuakulah yang tahu bagaimana cara bunga itu bisa merekah.” Kussi menjelaskan
apa yang dia dengar dari ibunya.
Pangeran Merku memandang lama bunga di tangannya. Pangeran Merku ingat pernah
memberikan benih pohon pada Pinus, benih yang ia dapatkan dari gurunya.
Pangeran Merku juga ingat, nama Kussi adalah nama pemberiannya untuk anak yang
dikandung Pinus, pada malam sebelum ia pergi ke kediaman orang tuanya.
Pangeran Merku melihat ke arah ayah mertuanya yang tidak beranjak dari
tempatnya berdiri, lalu beralih menatap Kussi, putrinya, buah cintanya bersama
Pinus.
Ingatan Pangeran Merku kembali, namun ia sadar ia kehilangan kesempatan menghabiskan
waktu bersama Pinus. Tanpa terasa, kedua penglihatan Pangeran Merku
berkaca-kaca. Sedetik kemudian, air matanya mengalir deras, menetes mengenai
mahkota bunga tusam. Saat itulah, mahkota bunga tusam merekah, perlahan.
“Pinus Merkussi. Pohon tusam dan
bunga ini lebih cocok diberi nama Pinus Merkussi,” ucap Pangeran Merku. “Bunga
ini akan merekah pertama kali jika terdapat air suci membasahinya. Maka ketika
sudah merekah, mahkota bunga ini tidak akan pernah layu. Bunga ini akan merekah
abadi.”
Pangeran Merku mengusap air matanya, ia tidak ingin tampak lemah di hadapan
putrinya. Pangeran Merku melengkungkan bibirnya. “Lihatlah, Nak. Mahkota bunga
pinus ini mulai merekah. Dua hingga tiga hari ke depan mahkotanya akan merekah
sempurna.”
Kussi mengangguk-anggukkan kepala, hampir menangis. Ia merasa semakin
dekat dengan Pangeran Merku. “Mu-mngkinkah ingatan Ayah sudah kembali?” tanyanya terbata.
Pangeran Merku mengangguk pelan, lantas memeluk Kussi dengan erat. “Maafkan
Ayah, Nak.”
Tidak hanya Pangeran Merku, Kussi dan kakeknya pun menitikkan air mata
bahagia. Mereka amat bahagia dengan kembalinya ingatan Pangeran Merku, tak
terkecuali Topu yang belum mengerti betul apa yang sedang terjadi.
Pangeran Merku pulang ke istana tidak hanya membawa obat untuk putranya, tetapi
juga mengajak Kussi dan ayah mertuanya turut tinggal bersama.
Bunga tusam yang dibawa Pangeran Merku ke istana benar-benar berkhasiat
menyembuhkan penyakit putranya. Maka sejak saat itu, Pangeran Merku dengan dibantu
pamannya, Raja Melayu, beserta para pengawal kerajaan, membudidayakan pohon tusam
di beberapa titik di daerah kekuasaan Kerajaan Melayu. Belakangan, pohon tusam
lebih dikenal luas dengan sebutan pinus merkussi. Adapun mahkota bunganya, ia akan
selalu mekar sepanjang masa.
Pamekasan,
21 Maret 2018
Monik Arrayyan
Komentar
Posting Komentar