Cerpen : Say Goodbye To Cheating


https://en.wikipedia.org/wiki/Library


Oleh Monik Arrayyan

 Siang sekitar jam 09.00 lewat, desas-desus suara mahasiswa yang mengobrol di perpustakaan IAIN Madura begitu berisik, mengganggu mahasiswa lain yang ingin konsen dengan buku yang mereka baca. Sampai terdengar teguran dari petugas perpus barulah obrolan mereka terhenti.
“Apa kalian tidak melihat tulisan itu, apa tulisannya kurang besar!” Teriak pak Ardi, seraya tangannya menunjuk ke arah dinding yang bertuliskan sesuatu.
Spontan mahasiswa-mahasiswi itu terdiam, dan refleks menoleh ke arah tulisan yang ditunjuk. Don’t Be Noise tulisan itu terpampang jelas di gedung dekat mereka berada. Semenjak keberadaan pak Ardi, perpustakaan IAIN Madura menjadi lebih disiplin dan tertib dari sebelumnya. Tidak segan-segan pak Ardi menegur mahasiswa yang melanggar etika pustaka.
“Kalau mau mengobrol atau berdiskusi bukan disini tempatnya” Tegas pak Ardi dengan nada mulai kalem dibandingkan sebelumnya.
“Maafkan kami pak” ucap salah satu mahasiswa yang kena sasaran amarah pak Ardi. Ia pun bergegas pergi disusul teman-temannya yang lain.
Mahasiswa itu tidak benar-benar belajar di perpustakaan, sedikit yang demikian, lebih banyak diantara mereka hanya sekedar mencari referensi buku yang dibutuhkan untuk tugas kampus, atau hanya sekedar mencari pendingin di ruang perpustakaan. Maklum saja, cuaca di luar begitu panas menyengat, dan tidak ada tempat sestrategis perpustakaan yang di penuhi dengan Air Conditioner di setiap sudut ruangannya.
Meski tadi sempat ada ketegangan di perpustakaan yang bercatkan jingga itu, tidak membuat Narsha terganggu. Ia tetap asyik dengan buku bacaannya. Kejadian seperti tadi menurutnya sudah biasa, cukup dengan erphone yang ia pasang dibalik kerudung menjadikannya tidak tertanggu dengan apa yang terjadi di sekitar.
Membaca sambil mendengarkan musik bergenre ballad lebih membuat Narsha konsentrasi dari pada membaca, tapi di sekelilingnya ramai. Asal buku yang dia baca bukan materi kuliah saja, karena baginya buku-buku kuliah membutuhkan konsentrasi super untuk bisa dipahami.
“Wahh, rajin banget sih!!” tiba-tiba suara Alfa muncul.
Melihat Alfa berdiri didekatnya, Narsha melepaskan erphone yang sedari tadi terpasang di kedua telinganya.
“Ehh Alfa…” Tanggap Narsha.
“Aku perhatiin kamu sering sekali ke perpus” Ujar Alfa, tangannya menyeret kursi dan duduk berhadapan dengan Narsha. “UAS masih lama Sha, masih sebulan lagi, nggak perlulah belajar sekeras ini” Lanjutnya.
“Ahh tidak juga kok, aku hanya baca-baca saja” Kata Narsha, senyumnya yang cute mengiringi bicaranya. “Lagi pula bukannya kita harus belajar keras ya, biar hasilnya nanti memuaskan”
“Ya ya,,, aku akui Narsha memang pejuang sejati. Hehehe”
“Apaan sihhhh, lebai,” Kata Narsha, sambil tersenyum, “Ehh, tapi Al…” Narsha tidak melanjutkan perkataannya.
“Kenapa?” Tanya Alfa, penasaran.
“Ehhmm, tadi kamu bilang perhatiin aku? Jadi selama ini kamu sering memandangku, memperhatikan aku maksudnya,” tanya Narsha, lagi-lagi sambil tersenyum.
Alfa tersenyum masam mendengar perkataan Narsha, ia mengambil buku yang tergeletak di dekatnya, “Sudah tahu masih nanya, kamunya aja yang nggak nyadar,” ujar Alfa, pelan, dengan mata tertuju pada cover buku yang dia pegang, membaca judulnya.
“Apa katamu?” tanya Narsha, ia tidak mendengar kalimat yang dikatakan Alfa.
Alfa menunjukkan reaksi sewot, “Aku bilang, sebenarnya kamu ke perpustakaan ini mau membaca atau mengobrol. Ayo cepat baca lagi bukumu!,”
Narsha manyun mendengar perkataan Alfa yang menurutnya dingin, ia kembali meneruskan bacaannya yang terputus karena kedatangan Alfa. Apa dia tidak nyadar, memangnya siapa yang mengajak ngobrol duluan, huhh… keluh Narsha dalam hati.
Alfa sosok lelaki yang misterius, dia bisa ngelucu, bersahabat baik dengan semua orang, cerdas, namun di lain waktu dia bisa bersikap cuek dan dingin. Begitulah Narsha mengenal sosok Alfa, teman satu angkatan dengannya, pernah pula satu kelas dengan Narsha selama dua semester.
Beberapa menit sudah mereka berdua membisu. Narsha melirik Alfa yang ternyata juga sedang melihatnya. Spontan Alfa menjadi salah tingkah karena ketangkap basah sedang memandang Narsha.
“Kamu kenapa Al?” tanya Narsha, bingung melihat tingkah Alfa.
“Oo,, tidak…” kata Alfa kelagapan, “Melihatmu membaca, aku jadi ingin tahu kehidupan anak-anak rimba, perbandingannya itu sangat jauh ya dengan pendidikan yang kita jalani selama ini” jelas Alfa beralasan, padahal sebenarnya dia sendiri bingung kenapa tadi memandang Narsha, seperti yang sering dia lakukan selama ini.
Narsha mengerutkan dahi, tidak mengerti, apa hubungannya membaca dengan kehidupan anak-anak rimba?
“Maksudku ini,” Alfa memperlihatkan buku yang ia pegang kepada Narsha.
“Kamu pernah baca buku ini?” tanya Alfa, “Buku ini sangat menarik Sha, Butet sangat hebat dapat membantu anak-anak rimba belajar,”
Beruntung Alfa memegang buku yang tepat, buku dengan judul Sokola Rimba itu sudah pernah ia baca sebelumnya, jadi dengan mudah Alfa dapat mengarang alasan demi menghindari kenyataan bahwa ia memang sengaja memandangi Narsha, bukan karena membandingkan pendidikannya dengan pendidikan anak rimba seperti yang Alfa katakan.
“Aku sudah baca itu,” jawab Narsha, “Ya memang begitu kehidupan masyarakat Indonesia, bukan hanya anak-anak rimba yang pendidikannya terbelakang, anak-anak perbatasan, anak-anak pinggiran, dan anak-anak lainnya, masih banyak yang membutuhkan pendidikan Al, sementara kita yang jelas-jelas berpendidikan malah menyalahgunakan hak dan kesempatan yang ada, sangat ironis,” Unek-unek itu akhirnya keluar juga, sudah lama Narsha menyimpan pemikiran dan pemahamannya tentang pendidikan di Indonesia.
“Sebenarnya apa yang kamu bicarakan?”
Narsha meletakkan buku yang dia baca, “Contohnya seperti kita Al, ketika ujian, UTS maupuan UAS, apa yang kita lakukan? Kita menyontek! Bahkan kita telah memiliki jawaban sebelum soal benar-benar sampai pada kita,” ungkapnya geregetan.
“Aku tahu, kamu tidak termasuk mahasiswa yang seperti itu, tapi aku? Aku tidak seperti kamu Al, aku pernah menyontek, semester 3 dua mata kuliah, semester 2 tiga mata kuliah, apalagi semester 1, aku lupa berapa mata kuliah. Aku menyesal melakukan itu. Aku menyesal pernah menyontek,” kata Narsha dengan kepala menunduk, ia sebenarnya malu mengakui kesalahannya pada Alfa.
Mendengar pengakuan Narsha, Alfa tersenyum dan menenangkan Narsha dengan perkataannya. “Yang terpenting kamu menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Jadikan itu sebagai pelajaran,”
“Ya, kamu benar,”
Alfa merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, “Jadi, apa yang akan kita lakukan?” tanya Alfa, begitu serius.
Narsha mengernyitkan dahi, belum mengerti arah pembicaraan Alfa.
“Tidak mungkin kan kita hanya mengeluh saja dengan apa yang terjadi, kita harus melakukan suatu perubahan, perubahan lebih baik, lebih bernilai, bukan hanya untukmu, tapi untuk masa depan IAIN Madura” Alfa menjelaskan maksudnya.
Narsha tersenyum, mulai mengerti maksud perkataan Alfa, “Apa yang harus kita lakukan untuk perubahan itu?” tanya Narsha, tidak kalah serius dengan Alfa.
“Dengan aksi tentunya,”
Sebuah suara muncul dibelakang Narsha. Refleks, Narsha memegang dadanya, kaget dengan suara itu.
“Ya Allah, Riska, bikin kaget saja!” Narsha geram melihat wajah dibelakangnya.
“Hehe, sorry,” Riska cengengesan tanpa rasa bersalah. Ia kemudian pindah kursi, duduk di sebelah Narsha.
“Jadi begini sobat, kita harus melakukan aksi, Misalkan kita sosialisasi dengan dosen terkait dengan contek-menyontek ini, atau kita bisa mengadakan seminar tentang bahayanya menyontek selama satu minggu berturut-turut, atau terserah aksi apa saja, asalkan masih dalam koridor kemampuan kita sebagai mahasiswa,” Riska mengemukakan ide-idenya sambil menggerakkan tangannya kekiri-kekanan, seperti sedang persentasi makalah di dalam kelas, di teman teman-temannya.
“Apa dari tadi kamu menguping pembicaraan kami?” tanya Alfa menyelidiki, tanpa mempedulikan ide-ide yang dikemukakan Riska.
“Yaiyalah Alfa, kamu fikir aku sebegitu pintarnya hingga bisa mendengar percakapan kalian tanpa aku berada didekat kalian. Atau kamu fikir aku menaruh alat perekam di bawah…”
“Cukup,” potong Alfa, “Sudah ku duga akan seperti ini jawabannya, seharusnya aku tidak menanyakan itu,” katanya, menyesali pertanyaannya pada Riska.
Narsha tertawa melihat kedua sahabatnya beradu mulut, tapi kemudian ia segera menutup mulutnya dengan buku melihat gambar digedung, ia teringat pak Ardi, petugas perpus yang garang itu.
Ketika Riska hendak menjelaskan kembali idenya, Alfa memotongnya lagi dengan perkataannya.
“Eh, sudah jam ke ketiga guys, aku ada kelas nih. Kita bicarakan masalah ini dilain waktu ya, dan Riska, aku simpan idemu tadi. Aku kebawah duluan ya,”
Alfa pergi dengan langkah sedikit terburu-buru. Sebelum itu, Riska sempat memberi salam pada Alfa yang hendak berdiri dari duduknya.
“Bye Alfa,” Ucap Riska sambil melambai-lambaikan tangannya. Sementara Narsha hanya tersenyum melihat tingkah konyol Riska.
Narsha dan Riska kembali melanjutkan obrolan mereka tentang iklim contek-menyontek di kampus mereka.
***
Sore hari ketika kebanyakan mahasiswa berlalu lalang dengan sepeda motornya di dekat taman mini, entah karena sudah tidak ada mata kuliah lagi yang harus mereka ikuti sehingga mereka memutuskan untuk pulang atau karena mereka masih ada mata kuliah jam keenam dan mereka baru saja tiba di kampus. Kejadian seperti itu, mahasiswa yang berlalu lalang dengan sepeda motornya, telah menjadi rutinitas di setiap kali pergantian jam mata kuliah.
Di area depan gedung perpustakaan IAIN Madura tersebut, tepatnya di taman mini, terlihat keempat mahasiswa tengah berdiskusi serius. Alfa, Narsha, Riska melanjutkan pembicaraan di perpustakaan siang kemaren, ditambah satu orang lagi bernama Dahlan, teman seorganisasi Alfa yang berbeda jurusan dengan mereka bertiga, tapi sudah saling kenal sebelumnya dengan Narsha dan Riska.
“Aku sudah mendengarnya dari Alfa, aku rasa ide-ide Riska itu bagus. Jadi kenapa kita tidak mencoba ide itu saja,” Dahlan langsung ke pokok persoalan yang akan mereka bahas, setelah sebelumnya ia terlebih dahulu berbasa-basi menyapa dan menanyakan kabar Narsha dan Riska.
Menurut penilaian Narsha dan Riska, Dahlan memiliki banyak persamaan dengan Alfa. Mereka berdua tidak suka merokok, sama-sama aktif di organisasi, sama-sama suka mengoleksi buku-buku pribadi dan tentu membacanya juga, dan masih banyak lagi persamaan yang lebih terperinci dibandingkan dengan ini. Narsha dan Riska juga menemukan perbedaan paling mendasar diantara mereka, Alfa yang sangat suka berbasa-basi, dan Dahlan yang langsung to the point. Seperti sore ini, basa-basi yang dilakukan Dahlan hanya sekedarnya saja. Narsha dan Riska tidak masalah akan hal itu.
“Aku boleh menyumbang ide nggak?,” tanya Narsha dengan polosnya
“Tentu saja,” jawab Riska ringan, sementara Alfa hanya tersenyum mendengar pertanyaan Narsha tadi.
“Apa idemu Sha?”
Dahlan bersiap-siap menulis ide baru dari Narsha, yang akan ia tulis di catatan kecil miliknya, yang selalu Dahlan bawa kemanapun dia pergi, kecuali ke toilet. Salah, bahkan Dahlan menaruh buku catatan itu disaku celananya, bukan di dalam tas. Jadi ketika dia ke toilet dengan mengenakan celana otomatis buku catatannya ikut pula karena nyangkut di saku celana.
***
Tiga hari setelah pertemuan Alfa, Narsha, Dahlan,dan Riska di taman itu, sesuai rencana semula, seminggu menjelang ujian, Alfa, Narsha, Dahlan, Riska, dan teman-teman lainnya mulai gencar menyuarakan pentingnya bekerja keras dan menghilangkan budaya  contek-menyontek. Mulai dari mengadakan seminar, sosialisasi oleh dosen pengampu mata kuliah berdasarkan masukan dari mereka, dan terakhir menyebarkan selebaran demi selebaran berisi memo kepada para mahasiswa.
“Semoga yang kita lakukan ini bermanfaat ya!”
“Amiin.. makasih ya Sha” ucap Alfa tenang, dengan mata tetap tertuju pada tumpukan selebaran yang ia pegang.
“Terimakasaih untuk apa?” Tanya Narsha bingung, sembari merapikan jilbab yang keselip di sela-sela ranselnya.
“Awalnya aku ragu, tapi sekarang sudah tidak lagi, dan aku rasa sudah saatnya kamu tahu.”
Alfa menatap Narsha.
“Aku menyukaimu Sha..” Ungkap Alfa.
“Apa?” Tanya Narsha. Bukan karena tidak mendengar, tapi karena ia tidak mengerti maksud perkataan Alfa. Lebih tepatnya, Narsha takut penafsiran dari kata-kata Alfa tidak sama dengan apa yang dia rasakan.
Namun Alfa kembali mengedarkan selebaran yang masih menumpuk di tangannya., pura-pura tidak mempedulikan Narsha yang masih kebingungan dengan perkataannya tadi.
“Jangan lupa ya dek, katakan, selamat tinggal menyontek!!” Alfa berkata kepada mahasiswi yang ia berikan selebaran.
“Siap kak…”. Ucap mahasiswi itu sambil lalu.
Alfa melihat ke arah Narsha yang sedang memperhatikan dan menunggu jawaban darinya. Keduanya tersenyum.

The End


Maret 2014

Komentar