Odi
melempar-lempar bongkahan tanah kering ke dalam ceruk. Ia merasa gelisah, dan
bosan. Padahal pekerjaannya mencari ulat-ulat di daun-daun tembakau, masih
tersisa separuh lagi. Odi duduk sendirian di tepi ceruk sawah. Kalau tiba-tiba
neneknya datang, tamatlah ia. Bukan karena neneknya suka marah, tetapi karena Odi
tidak siap jika mendapat pertanyaan, kenapa ia tidak bersemangat pagi ini?
Matahari
semakin naik. Odi membuang nafas berat. Ia pandangi air dalam ceruk yang
kedalamannya tak seberapa itu. Ia melihat wajah ibunya, ayahnya dan ketiga
kakaknya di genangan air, membayangkan ia bercengkerama bersama mereka.
“Aku bosan …”
desahnya, seolah-olah ia bicara kepada mereka.
Odi terpisah beratus-ratus kilometer dari orang
tuanya. Sejak usia enam tahun, ia tinggal di desa bersama neneknya. Sebuah desa
di mana terdapat sawah petak-petak mengelilingi rumah penduduk, dan bambu-bambu
tegak di tiap sudut sawah, sebagai penyangga kabel-kabel untuk menghubungkan
listrik dari rumah ke rumah.
Usia Odi kini memasuki sembilan tahun. Kedua
orang tuanya tinggal di ibu kota, bersama ketiga kakaknya yang sudah berusia
remaja. Odi dititipkan karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Sedangkan
kakak-kakaknya sibuk sekolah. Pagi-pagi buta kedua orang tuanya berangkat dan
baru pulang ketika hari telah gelap. Begitu pula dengan ketiga kakaknya,
pagi-pagi pergi ke sekolah dan pulangnya langsung ke tempat les, hingga sore.
Odi masih kecil, tidak ada yang bisa mendampinginya
jika ia tinggal di kota. Odi terpaksa dititipkan ke Nenek. Dengan begitu, kedua
orang tuanya bisa fokus bekerja dan kakak-kakaknya fokus belajar. Jadi Odi
tidak akan ikut sibuk di kota. Ia akan aman tinggal di desa, bebas bermain
bersama teman-teman sebayanya. Selain juga, Ayah maupun Ibu tidak meragukan
pendidikan yang akan diterima Odi dari Neneknya. Telah terbukti pada
kakak-kakak Odi yang juga tumbuh di desa, bersama Nenek.
Akan tetapi sebaliknya, beberapa bulan terakhir
Odi merasa kesepian. Ia bosan dan ingin kembali pada orang tuanya. Apalagi saat
tiba-tiba terjadi pandemi dan sekolah diliburkan entah sampai berapa lama. Odi
benar-benar ingin mengatakan keinginannya pada Nenek, tetapi entah kenapa ia
selalu urung.
Setiap hari selama pandemi, Odi lebih sering
membantu neneknya di sawah. Mulai dari memanen padi, menjemur dan
mengeringkannya. Hingga musim menanam tembakau tiba, dan Odi mulai mencari
ulat-ulat. Perpindah dari satu sawah ke sawah lainnya, tiap pagi.
Odi merasa jemu. Tak ada yang bisa dia kerjakan
selain membantu neneknya. Dan sebenarnya, ada alasan lain di balik kejemuan
yang ia alami. Teman-temannya … rata-rata memiliki seorang adik. Odi tidak suka
karena saat bermain, teman-teman Odi selalu membicarakan adik-adik mereka. Terkadang
membandingkan dengan dirinya yang tidak memiliki seorang adik.
“Odi … kau di mana?” suara Nenek muncul.
Odi terkesiap, dan buru-buru berdiri. “Ya,
Nek?” jawabnya dengan suara lantang.
Nenek berdiri di pematang sawah. Dahinya mengernyit.
“Lagi apa kau?”
“Hehehe … tadi masih main-main, Nek,” kata Odi
sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu.
“Ayo pulang, sudah waktunya sarapan,” ajak
Nenek.
“Nenek pulang saja duluan, nanti Odi menyusul.
Tinggal beberapa baris lagi, Nek.”
“Segera ya…”
“Siap!”
Nenek berbalik dan berjalan menuju rumah. Odi
bernafas lega. Untung dia tidak kepergok tengah duduk melamun di pinggir ceruk.
***
“Kau bermain di rumah Ken setelah ini? Nenek
dengar di rumahnya ada ayunan baru?” Nenek membuka percakapan.
Odi menggeleng. “Tidak, Nek.”
“Atau bermain ke rumah Uqi?”
Odi kembali menggeleng. “Sepertinya Odi di
rumah saja hari ini.”
Nenek menyelesaikan sarapannya, lantas
memperhatikan raut dan gestur Odi dengan saksama. Sambil bangkit menuju tempat
cuci piring Nenek berkata. “Jangan hanya di rumah, anak seusiamu lebih baik banyak
bermain di luar. Cari teman. Cari pengalaman seru.”
“Teman-temanku pada sibuk dengan adik-adik
mereka. Tidak bisa diajak bermain.” Odi berhenti menyendok makanannya. Dengan
suara pelan dia berkata. “Sepertinya … amat menyenangkan jika memiliki seorang
adik.” Odi tahu betul, sampai kapan pun ia tidak akan bisa memiliki adik
kandung, Ibu pernah bercerita kalau rahimnya telah disteril sehingga tidak bisa
melahirkan bayi lagi.
“Kita tidak bisa memilih keluarga, Odi,” Nenek
menyahut.
“Hahhh?”
Nenek menggunakan waslap untuk mengeringkan
tangannya. Ia kemudian kembali duduk di kursi makan. “Kamu anak pertama, anak
tengah atau anak terakhir. Saudaramu siapa, orang tuamu siapa, atau nenek
moyangmu siapa. Kamu tidak bisa memilihnya. Nenek juga tidak bisa memilihnya.
Kita semua tidak bisa memilih. Tuhan memberikannya langsung, bahkan terkadang tanpa
diminta,” kata Nenek, lantas menyentuh bahu Odi. “Namun, kamu bisa memilih, mau berteman dengan
siapa dan tinggal bersama siapa.”
Odi tidak menanggapi lagi perkataan Nenek. Dia
sedikit menunduk, mengunyah makanannya perlahan sambil mencerna kata-kata Nenek.
Nenek bangkit. “Selesai sarapan, jangan lupa
piringnya dicuci ya,” pesan Nenek, seraya tangannya mengusap-usap kepala Odi. “Kalau
kau tidak pergi bermain hari ini, sebaiknya bersih-bersih rumah. Badanmu harus
bergerak agar sehat.”
Usai sarapan, Odi pergi ke kamarnya, berniat
membaca buku dongeng. Namun, bukannya mengambil buku, Odi malah mengambil foto
keluarga yang dipajang di atas meja, di samping tempat tidurnya. Di foto itu
ada dirinya, Nenek, Ayah, Ibu dan ketiga kakaknya. Mereka memicingkan mata,
tersenyum bahagia.
Odi melebarkan mulutnya ke samping. Ia
menyadari, tak seharusnya ia merasa kesal pada teman-temannya. Apalagi iri
karena tidak memiliki adik seperti mereka. Mungkin ia tak lagi bebas bermain
bersama teman-temannya, tak apa, ia tetap bisa bermain. Bukankah ia memiliki
banyak teman? Odi juga lupa, ia memang tidak memiliki adik, tetapi ia memiliki
kakak-kakak. Dua kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Odi tidak sabar
menunggu weekend, jadwal ia, Nenek dan keluarganya di ibu kota melakukan
video call.
Odi meletakkan foto keluarganya. Ia ke luar
kamar, pergi mengambil sesuatu di gudang dan pergi menemui Nenek di kandang
ayam.
“Nenek, piring kotornya sudah aku cuci, tapi rumah
belum aku sapu,” Odi melapor. “Sekarang aku main layangan di sawah dulu ya, Nek,”
pamitnya.
“Jangan lupa pakai topi, Odi!” kata Nenek
mengingatkan.
Nenek menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
tersenyum melihat cucunya kembali bersemangat.
Pamekasan, 24 Juli 2020
Monik Arrayyan
Komentar
Posting Komentar