Percakapan di Halte

 

Suatu malam sekitar pukul 22.00, seorang gadis berjalan sendirian. Ia baru saja mengunjungi temannya yang sedang dalam kesulitan. Melihat temannya sudah lebih baik dan bisa tidur pulas, gadis itu memutuskan pulang. Ia pulang tanpa berpamitan pada temannya. Ia hanya meninggalkan sebuah surat.

Jalanan cukup sepi, dengan penerangan lampu sekadarnya. Setelah cukup lama berjalan di tengah keremangan, akhirnya gadis itu sampai di halte bus. Sudah ada seorang pemuda yang lebih dulu duduk di sana. Sendirian. Gadis itu merasa tidak nyaman sebenarnya, tetapi tidak ada pilihan lain. Di mana lagi dia harus duduk menunggu bus?

Gadis itu duduk begitu saja di halte, tanpa menyapa pemuda yang duduk cukup jauh di sebelahnya. Entah menyadari kedatangan gadis itu atau tidak, pemuda itu tampaknya tidak peduli. Ia tetap terpaku pada buku bacaannya.

Gadis itu melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.35. Ia menggeser duduknya. 

“Maaf, apa kau mengenal daerah sekitar sini?” gadis itu memberanikan diri bertanya, setelah cukup lama dia menahan agar tidak terlibat percakapan dengan orang asing.

Pemuda itu menoleh. “Ya,” jawabnya. “Kenapa?” dia bertanya balik.

Gadis itu haus sekali. Sepanjang perjalanan dari rumah temannya ke halte, ia tidak melihat ada supermarket atau toko. Ia seperti berada di desa terpencil, sepi, tak ada toko-toko.

“Aku ingin membeli minum, barangkali kau tahu di mana supermarket terdekat?”

“Ah …”

Pemuda itu membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu. “Ini … untukmu,” ia menyerahkan satu botol air mineral.

“Tidak-tidak. Aku bisa membelinya,” gadis itu menolak.

“Kamu tidak suka menerima pemberian orang asing?”

“Bukan. Hanya saja …”

“Kalau begitu ambillah. Ini masih bersegel, jadi aman.”

Gadis itu ingin sekali mengambilnya, ia amat haus. Namun ia ragu, dan sedikit takut. “Lalu, bagaimana denganmu?”

Pemuda itu memperlihatkan minuman yang tersisa separuh botol. Gadis itu pun menerima air minum yang diberikan padanya. Ia membuka tutup air minum itu dan langsung meneguknya.

Sudah hampir satu jam gadis itu duduk di halte, tetapi belum ada tanda-tanda bus lewat.

“Mau baca?” pemuda itu menawarkan sebuah buku.

“Bagiku, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membaca. Namun terima kasih atas tawarannya.”

“Ngomong-ngomong, kamu sendirian saja? Mau ke mana?”

“Aku dari rumah teman,” jawab gadis itu. “Dia sedang sakit, jadi tidak bisa menemaniku pulang,” terangnya.

“Kenapa tidak menginap dan pulang besok?”

“Aku harus tiba di rumah pagi-pagi sekali.”

“Itu berarti, rumahmu di luar kota?”

Gadis itu mengangguk.

“Apa kamu tidak takut?” pemuda itu kembali mengajukan pertanyaan. “Kamu perempuan dan masih muda. Kamu tidak takut bepergian sendiri?”

“Aku … sesungguhnya aku amat takut.”

“Lalu kenapa berpergian sendiri?”

“Karena aku harus pergi, tidak ada pilihan lain. Lagi pula, aku yakin semua akan baik-baik saja.”

“Kalau kau berpikir begitu, maka kau akan terlindungi.”

“Hmm?”

“Pikiran kita pandai membaca situasi. Selama pikiran kita baik, maka semuanya akan menjadi baik.”

Gadis itu mengangguk-angguk, tersenyum.

“Busnya baru akan datang nanti, pukul 24.00,” pemuda itu memberitahu.

“Apa?”

“Di sini bukan kota besar. Jika sudah malam, bus hanya beroperasi tiap dua jam sekali,” kata pemuda itu. “Kamu tidak tahu itu sebelumnya?” tanyanya.

“Ini pertama kalinya aku datang ke sini,” jawab gadis itu. “Kalau sudah tahu bus datangnya masih lama, lalu kenapa kamu ada di sini sekarang?

“Karena aku suka menunggu.”

“Hahh? Tidakkah menurutmu itu membosankan?”

“Dengan menunggu, aku jadi memiliki waktu untuk bersantai.”

Waktu berlalu begitu saja. Tidak banyak percakapan yang terjadi antara gadis dan pemuda itu. Dan benar sekali, bus datang dan berhenti sejenak di halte bus, tepat pukul 24.00.

Gadis itu segera menaiki bus. Ia heran ketika menyadari pemuda yang bersamanya tidak bergeming. Pemuda itu hanya berdiri di halte. “Kamu tidak naik?” di tengah-tengah pintu bus, gadis itu sedikit mengeraskan suaranya.

“Rumahku di dekat sini.”

Pemuda itu kemudian melambai-lambaikan tangannya. “Selalu berhati-hati.”

Bus berjalan. Gadis itu duduk dengan wajah tercengang. Ia kemudian tersenyum. Sungguh laki-laki yang baik.

 

Pademawu, Pamekasan

 

 

Komentar