Musim Semi di Anadolu Kavagi

 

Pagi yang cerah di Anadolu Kavagi. Agin dari laut berembus pelan, seperti mengabarkan, kehidupan musim semi sepenuhnya dimulai. Waktu kecil saat musim semi, aku melihat banyak bunga-bunga menguncup di pekarangan rumah-rumah. Sekarang masih sama. Tidak banyak perubahan di Anadolu Kavagi.

Sejak kemarin aku berada di rumah Ibu, bermalam, menemani, sekaligus berlibur, menikmati awal musim semi di tempat kelahiran. Telah menjadi jadwal tetapku dan kakak-kakak, berkunjung ke rumah Ibu tiap satu bulan sekali. Kali ini aku datang sendirian. Suami dan putraku tidak ikut, mereka megikuti kegiatan gathering wajib sekolah, yang dikemas dalam kegiatan pariwisata.

Aku melihat Ibu di pekarangan rumah. Ia merapikan bunga-bunga yang tumbuh liar. Aku mendekatinya, duduk di kursi batang pohon yang tak jauh dari tempat Ibu berdiri.

“Ibu, aku penasaran akan satu hal. Aku sangat ingin tahu sejak dulu, tetapi entah kenapa tidak pernah kutanyakan,” tiba-tiba kalimat itu mengalir begitu saja. Haruskah aku menanyakan sesuatu yang dulunya aku simpan rapat-rapat? 

Ibu menoleh dan bertanya. “Tentang apa?”

“Saat Ayah pergi, bukankah aku, Adskhan dan Aiyla masih sangat kecil?”

“Benar.”

“Bukankah tidak mudah membersarkan kami sendirian?”

Ibu hanya tersenyum, tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arahku dengan memegang bunga-bunga segar di tangannya. Di dekatku ada vas bening yang sudah diisi air, Ibu meletakkan bunga-bunga itu di dalamnya. Ibu duduk di sampingku, menatap lurus ke depan. Wajahnya yang teduh sekamin hari terlihat semakin berbinar. Pelan-pelan Ibu berkata. “Benar. Namun, syukur kita bisa melaluinya bersama.”

Pandanganku tidak lepas dari Ibu. Oh, sangat menenangkan melihat binar mata Ibu yang selalu bersemi. Aku menarik pandangan, melihat ke arah pandang Ibu.

“Kenapa Ibu tidak menikah lagi? Setelah kepergian Ayah, bukankah banyak yang datang melamar?” aku kembali bertanya. “Apa karena kami? Ibu khawatir ayah baru tidak menyayangi kami layaknya anak kandung?” aku benar-benar ingin tahu jawaban Ibu. Waktu kecil aku tidak mau menanyakan hal ini meskipun ingin. Aku takut kakak-kakakku merasa tidak nyaman, karena mereka tidak ingin Ibu menikah lagi. Sedangkan aku berbeda dengan mereka. Aku justru ingin Ibu menikah lagi, agar aku memiliki sosok ayah.

“Mungkin itu salah satu pertimbangannya. Namun, ada alasan lain.”

“Apa?” aku semakin penasaran.

Kini, Ibu menatapku. “Di kehidupan selanjutnya, Ibu ingin tetap di sisi ayahmu, sebagai pasangan.”

Kedua alisku bertaut.

Ibu menjabarkan perkataannya. Ia menyentuh lenganku seraya melengkungkan bibir. “Di kehidupan berikutnya, seorang istri akan hidup bersama suaminya yang terakhir. Ibu bersyukur menjadi pasangan ayahmu di kehidupan saat ini. Ibu juga ingin menjadi pasangannya di hari kemudian. Ibu tidak ingin bersama laki-laki lain selain ayahmu. Bayangkanlah, betapa beruntung jika kita kembali menjadi satu keluarga di hari kemudian.”

Mendengar itu, membuat bulu-bulu romaku berdiri. Mataku berkaca-kaca, menahan haru. Sungguh, alasan sederhana yang sangat manis. Selama ini aku mengira, Ibu tidak menikah lagi karena kedua kakakku menentangnya, tetapi ternyata bukan itu alasannya.

Bunga-bunga di pekarangan rumah mulai bermekaran. Musim semi di Anadolu Kavagi, selalu kurindukan.

Pamdemawu, Pamekasan

 

 

Komentar