Ini kisah tentang kesetiaan putri sulung Rasulullah Saw. dan suaminya, yang menggetarkan, yang mengilhami, yang menjadi teladan dan menjadikan mata berkaca-kaca, haru.
Setelah kisah
teladan perjalanan cinta Fatimah binti Muhammah, Rasulullah Saw., bersama Ali
bin Abi Thalib, ada pula kisah cinta putri Rasulullah yang lain, yang tak kalah
menggetarkan bagi jiwa-jiwa yang rindu akan hikmah.
Adalah kisah
cinta antara Zainab binti Muhammad Saw. dengan suaminya, Abul Ash bin Rabi’.
Zainab putri pertama Rasulullah Saw. bersama Khadijah ra. Ia menikah di usia muda
dengan Abul Ash, seorang saudagar keturunan Quraisy yang masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Zainab. Saat mereka melangsungkan pernikahan, Islam
belum menyelimuti kota Mekkah maupun kota-kota sekitarnya. Wahyu pertama belum
turun kepada Rasulullah Saw.
Suatu ketika,
Abul Ash pergi berdagang ke luar kota. Sedang di rumahnya, cahaya Islam telah
masuk mengetuk pintu hati istrinya, Zainab. Sepulangnya dari berdagang, Zainab
menyampaikan kepada Abul Ash tentang keislamannya. Zainab meminta agar suaminya
itu turut memeluk agama yang kini dianutnya, tetapi Abul Ash menolak. Ia masih
berpegang teguh pada kepercayaan nenek moyangnya. Jawaban Abul Ash membuat
Zainab sedih, namun ia menghormati keputusan suaminya dengan tetap mendoakan
agar hidayah dan cahaya Islam sampai pada Abul Ash.
Meski telah
mengetahui istrinya memeluk Islam, tidak membuat Abul Ash menceraikan Zainab
seperti yang dilakukan Utbah dan Utaibah kepada kedua adik iparnya, Ruqayah dan
Umi Kultsum. Abul Ash amat mencintai Zainab, ia tidak ingin berpisah dengannya.
Islam
semakin santer di kota Mekkah. Dakwah yang awalnya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, mulai dilakukan secara terang-terangan. Para pemuka kaum
Quraisy tidak tinggal diam melihat hal itu, mereka terus mengganggu kaum muslim
sehingga membuat kaum muslim hijrah dari kota Mekkah. Rasulullah beserta
keluarganya hijrah dari Mekkah, putri-putrinya turut serta kecuali Zainab. Pada
saat itu, Islam belum melarang pernikahan beda keyakinan. Zainab tetap setia
mendampingi Abul Ash.
Suatu hari,
terjadi peperangan antara kaum muslim dengan kaum kafir Quraisy. Perang ini
dikenal dengan nama Perang Badar. Pada saat itu, kaum muslim menang dan Abul
Ash yang turut dalam peperangan menjadi tawanan. Zainab mendengar berita akan
nasib suaminya yang menjadi tawanan perang. Ia kemudian mengutus seseorang
untuk menebus kebebasan Abul Ash dengan kalung peninggalan ibunya, Khadijah ra.
Begitu kalung itu sampai di tangan Rasulullah, beliau menangis. Rasulullah tahu
kalau kalung tebusan untuk Abul Ash itu adalah kalung pemberian mendiang
istrinya untuk Zainab. Setelah meminta izin dan mendapat persetujuan dari kaumnya,
Rasulullah membebaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung milik Zainab, dengan
syarat Abul Ash mengembalikan Zainab pada Rasulullah. Islam telah melarang
perempuan muslim menikah dengan laki-laki kafir, begitupun sebaliknya. Tidak
halal jika Zainab dan Abul Ash tetap tinggal bersama.
Kembalilah Abul
Ash kepada istrinya di Mekkah, dengan perasaan hancur berkeping-keping. Saat
membukakan pintu, Zainab senang melihat kedatangan suaminya. Namun, Zainab
kemudian terdiam begitu Abul Ash mengatakan perpisahan di antara mereka,
sebagai syarat ia dibebaskan. Zainab tidak ingin berpisah dengan Abul Ash, tetapi
tidak ada pilihan yang lebih penting baginya selain mengikuti perintah Allah dan
Rasul-Nya. Dengan berat hati dan kesulitan dari orang-orang Quraisy, Zainab
meninggalkan Abul Ash dan pergi ke Madinah, kembali pada ayahnya.
Hari-hari Abul
Ash tanpa Zainab dilalui dengan berat. Ia tidak bisa melupakan Zainab. Begitupun
Zainab di Madinah sana, betapa ia amat merindukan Abul Ash, kekasih hatinya. Baik
Abul Ash ataupun Zainab, tidak ada yang menikah lagi setelah perpisahan itu.
Suatu hari Abul
Ash melakukan perdangan besar, di perjalanan ia bertemu dengan pasukan kaum
muslim. Harta perdagangan yang dibawa oleh Abul Ash jatuh ke tangan kaum muslim,
sedangkan Abul Ash berhasil kabur. Abul Ash kemudian menemui Zainab. Ia
sebenarnya sedih harus bertemu Zainab dalam keadaan buruk, tetapi tidak ada
jalan lain. Ia harus kembali ke Mekkah dengan harta dan barang-barang dagangannya,
demi untuk mewujudkan apa yang sudah dia niatkan. Abul Ash meminta bantuan Zainab
agar ia dan harta dagangnya dibebaskan.
Atas bantuan
Zainab, Abul Ash berhasil kembali ke Mekkah. Abul Ash kemudian mengembalikan
harta orang-orang Quraisy dan membagi-bagikan keuntungan dari perdagangannya. Abul
Ash kemudian menyatakan masuk Islam di depan kaumnya. Setelah semua itu, Abul
Ash pergi dan menetap di Madinah. Rasulullah kembali menikahkan Zainab dengan
Abul Ash. Tidak ada alasan bagi Rasullah untuk menolak Abul Ash sebagai
menantunya kembali. Abul Ash adalah seorang muslim. Ia seorang pemuda yang
selalu menepati janji. Ia juga pemuda yang amat mencintai dan dicintai oleh
putri sulug Rasulullah Saw.
Zainab dan Abul Ash kembali bersama. Dari pernikahan mereka, lahir seorang putra yang meninggal saat masih bayi, kemudian lahir pula seorang putri yang diberi nama Umamah. Zainab dan Abul Ash terus bersama sebagai pasangan kekasih, sebagai pasangan suami-istri, hingga kemudian mereka berpisah karena datangnya kematian.
Pademawu,
Pamekasan
Komentar
Posting Komentar