Suyu berhenti berjalan. Ia membuang napasnya dengan berat. Ia berbalik.
Dari jarak lima puluh kilometer Suyu melihat tempat kerjanya dengan tatapan
kesal.
“Aishhh … harusnya tadi aku tidak menawarkan diri.”
Suyu melihat kursi besi di dekatnya. Ia duduk di kursi itu,
memijat-mijat kakinya yang tiba-tiba terasa pegal.
Akhir pekan yang sial bagi Suyu. Sebenarnya, akhir pekan ini ia sudah
memiliki jadwal dengan teman-temannya. Sudah lama dia tidak hangout. Namun,
Sabtu kemarin, pagi-pagi sekali atasannya menghubungi, memberitahu agar semua
karyawan masuk kantor. Ada pekerjaan mendesak yang harus segera diselesaikan.
Pekerjaan dadakan yang banyak menguras pikiran dan perasaan. Pekerjaan dadakan
yang membuat Suyu dan rekan-rekannya stres tak kepalang. Pekerjaan yang tak
berjeda, walaupun hari Minggu seperti sekarang.
Tadi saat tiba waktunya makan siang, Suyu sengaja menawarkan diri
kepada rekan-rekannya kalau dia siap pergi membeli makanan. Dia sudah berencana
mencari udara segar di luar kantor, merenggangkan otot-ototnya dengan berjalan
kaki dari kantor ke rumah makan Padang, melewati trotoar yang rimbun dengan
pohon-pohon. Namun, tiba-tiba Direktur datang dan seketika rencana Suyu gagal.
“Kebetulan sekali. Saya sudah pesan bakpao untuk makan siang kita
semua.”
Semua orang saling pandang. Apa mereka tidak salah dengar? Bakpao untuk
makan siang? Mereka sudah berada di kantor tepat ketika matahari baru terbit.
Beberapa dari mereka hanya sarapan bubur. Bahkan ada yang hanya mengganjal
perutnya dengan roti.
“Kenapa? Ooo … saya mengerti. Kalian jangan khawatir, makan siang kali
ini saya yang traktir, jadi tidak akan dipotong dari gaji lembur kalian.”
Semua orang menelan ludah. Tidakkah Direktur merasa kalau sepotong bakpao
terlalu kejam untuk makan siang mereka? Bahkan mereka tidak tahu hari ini
pulang sore atau pulang larut seperti Sabtu kemarin.
“A-apa kita hanya makan bakpao?”
Suyu memberanikan diri bertanya.
“Ya. Saya pikir itu pilihan yang baik. Kita bisa bekerja sambil makan,
dengan begitu kita jadi menghemat waktu. Suyu, tadi saya mendengar ketika kamu mengatakan
suka berjalan kaki. Baguslah! Kamu yang akan mengambil bakpao itu. Sekalian
biar kamu tidak mengantuk. Lihatlah wajahmu, ohh … bagaimana mungkin seorang
gadis terlihat kuyu?”
Suyu menerima tugas itu dengan wajah masam.
“Jangan cemberut, kau tidak bertambah cantik dengan wajah seperti itu.”
Usai mengucapkan kalimat itu, Direktur pergi ke ruangannya.
Suyu mendesah. Ia bangkit dan lanjut berjalan kaki menuju Gang Siraji,
tempat di mana ia akan mengambil bakpao pesanan atasannya.
Sesampainya di Gang Siraji, Suyu masih berjalan masuk. Gang yang
dilaluinya sedikit lebar. Banyak orang
yang berlalu-lalang di gang itu. Suyu terus berjalan hingga kemudian ia
mendapati persimpangan. Ia menoleh ke arah kanan dan di sanalah lokasinya.
Suyu melihat keramaian di sana. Banyak para penjual dan lebih banyak
lagi para pembelinya. Mereka saling berinteraksi. Suyu bahkan baru tahu ada
tempat seperti ini. Gerobak-gerobak besar berjejer. Masing-masing menjual
makanan berbeda dan masing-masing dikerumuni para pembeli. Tempat itu hanya
berjarak hampir satu kilo meter dari lokasi tempat kerja Suyu.
Karena masih bingung dengan tempat yang didatangi, Suyu berhenti
sejenak, sembari mendinginkan wajahnya dengan kipas mini yang selalu siaga di dalam tasnya. Ia duduk di dekat gerobak
yang menjual minuman.
Seorang wanita paruh baya menghampiri Suyu.
“Nona mau minum?”
“Tolong air putih dingin, Bibi.”
“Tunggu sebentar ya.”
“Terima kasih.”
Bibi itu datang dengan membawa nampan dan satu botol air mineral dingin
di atasnya.
“Sepertinya baru pertama kali kau datang ke sini?”
“Benar. Saya baru tahu tempat ini.”
Bibi penjual minumam itu duduk menemani Suyu. Sedang gerobak minumnya
ditangani oleh lelaki paruh baya, mungkin suami si Bibi. Suyu kemudian terlibat
percakapan ringan. Bibi menceritakan bagaimana keramaian terus meningkat di
Gang Siraji.
“Apa Bibi tidak lelah bekerja seharian?”
“Lelah sudah bagian dari hidup. Kalau kita berhenti mencari nafkah
hanya karena lelah, tidakkah kita termasuk orang tak tahu caranya berterima
kasih? Ah ya, kamu kenapa ada di sini?”
Mendengar pertanyaan Bibi, Suyu teringat tujuannya datang ke Gang Siraji.
Kenapa dia malah duduk-duduk santai? Rekan-rekannya pasti sudah pada kelaparan
menunggu. Suyu bertanya pada Bibi, di mana ia bisa menemukan gerobak bakpao?
“Ah, bakpao Pak Nusi. Bakpao gurih terlezat dan terbaik di kota ini. Di
sana … kamu bisa menemuinya di stan paling ujung.”
Suyu berterima kasih pada Bibi. Ia membayar minumnya dan pergi ke arah
gerobak paling ujung.
Gerobak bakpao milik Pak Nusi ramai dengan antrian pembeli. Pak Nusi
menjual bakpao dibantu oleh dua laki-laki yang lebih muda. Barangkali
asistennya. Suyu melihat bagaimana bakpao itu dibuat. Bukan seperti bakpao yang
biasa dia makan, yang rasanya manis dengan isian coklat atau kacang. Bakpao
pesanan yang akan Suyu ambil rasanya gurih, di dalamnya berisi daging segar
yang dimasak dengan bumbu rempah pilihan, dicampur dengan irisan daun bawang,
seledri, wortel dan sedikit kentang.
Suyu menelan ludahnya. Bakpao itu menggugah selera makan, yang pastinya
dapat mengenyangkan. Suyu merasa bersalah pada Direktur karena ia sempat
berpikiran yang tidak-tidak.
Suyu mendekati penjual bakpao dan menyerahkan kertas yang tadi ia
terima dari Direktur.
“Permisi, Paman, saya mau ambil pesanan.”
Pak Nusi mengambil kertas yang disodorkan padanya, lantas
mengangguk-angguk.
“Kau datang terlambat. Untunglah bakpaonya belum dingin. Ini. Cepat
pergi dan makanlah selagi hangat.”
“Terima kasih, Paman.”
“Tunggu … kalian pasti lelah di kantor. Bawalah ini.”
Suyu memandang heran kotak wadah yang diberikan padanya. Ia menatap Pak
Nusi dengan penuh tanya.
“Itu acar dan selada. Makanlah dengan bakpao, pasti rasanya lebih
segar.”
Suyu terharu. Pak Nusi sungguh orang yang baik, juga perhatian.
“Terima kasih, Paman.”
“Salam untuk Ibu Direktur.”
Suyu mengangguk. Ia menunduk, berpamitan pada Pak Nusi.
Suyu berjalan dengan wajah yang lebih cerah dari sebelumnya. Matanya
berbinar-binar. Sampai di persimpangan dia berhenti dan menoleh pada keramaian
gerobak-gerobak makan Gang Siraji. Banyak orang yang tetap sibuk sekalipun di
akhir pekan. Semua orang di sini sibuk. Orang-orang di tempat kerjanya pun
sama-sama sibuk. Semua orang sibuk, dan pasti merasa lelah. Tidak ada yang
salah dengan itu semua.
Suyu kembali berjalan menuju tempat kerjanya, dengan menenteng lima
belas potong bakpao jumbo di tangan kanannya, dan kotak wadah berisi sayur di
tangan kirinya. Suyu berniat akan ke tempat ini lagi lain kali, dengan membawa pulang
makanan lebih banyak dari hari ini.
Pademawu, Pamekasan
Komentar
Posting Komentar