Catatan (Panjang) Perjalanan: Wisata Alam vs Wisata Kuliner


Dik, ngepantai yukk.
Tetiba malam-malam dapat chat ajakan refreshing dari Bu Palupi. Ngepantai? Hmmm, boleh juga. Hitung-hitung menghilangkan rasa bosan akibat wfh or wfo selama masa pandemi. Kebetulan aku menyukai wisata alam, suka juga dengan biru pantai meski jauh lebih suka hijau pegunungan.
Dua hari kemudian, 27 Juni 2020, pembahasan jelong-jelong berlanjut offline pada saat rapat guru. Titik tujuan tidak kunjung sampai pada kata sepakat. Yang satu ingin ke sini. Satu lagi yang penting berangkat, entah ke mana saja asalkan otak bisa fresh. Ada juga yang malah ribet membahas teknis perjalanan nanti bagaimana, naik apa? etc. Akhirnya, berkat promosi Pak Wildan yang selalu menyebut-nyebut rujak Bendungan sebagai rujak legend tiap kali membahas kuliner, rujak yang katanya paling enak dan tak ada duanya di Pamekasan, diputuskanlah Ahad tanggal 5 Juli 2020 kami (Guru Muslimah) akan jelong-jelong ke arah utara, ke rujak Bendungan. Dari pantai ke rujak? Yaelah. :D
Lewat beberapa hari tidak ada pembahasan lebih lanjut terkait rencana perjalanan. Aku pikir urung, karena hari Sabtu kami ada kegiatan yang cukup padat di sekolah. Bu Palupi juga tidak sesemangat waktu pertama kali mengajak jalan. Aku sendiri entah kenapa tidak antusias. Secara, masak iya tujuan perjalanan kami hanya ke tempat rujak? Jauh-jauh dari selatan ke utara hanya untuk beli rujak? Hiks. Betapa tidak asyik!
Malamnya Bu Palupi chat.
Besok jadi yo. Kita berempat. Pagi pukul 05.30 kumpul di rumah.
Apa? Ini beneran jadi ke rujak Bendungan? Dan hanya berempat? Oh! Oke, oke. Tak ada salahnya ikut walau pemburu kuliner itu bukan aku banget. Agak penasaran juga sama rasa rujak Bendungan kayak apa. Awas saja jika rasanya mengecewakan! Wkwkwk.
Ahad pukul 05.30 aku baru otw rumah Bu Palupi. Senang rasanya bisa motoran pagi-pagi, seperti ketika hari-hari normal saat pergi ke sekolah. Kangen euy.
Aku tiba di rumah Bu Palupi bersama Bu Devin. Juga sudah ada Bu Aini yang lebih dulu sampai. Sebelum melakukan perjalanan, kami mengganjal perut dengan roti dan susu, sambil mendiskusikan destinasi lain selain rujak Bendungan. Fix, kami sepakat ingin ke jembatan gantung Waru yang keberadaannya sempat viral di media, disebut-sebut sebagai jembatan gantung terpanjang di Jawa Timur. Wow. Sekitar pukul 06.20 kami cus berangkat dengan bekal makanan yang sangat mencukupi. Terima kasih, Ya Allah, Engkau hadirkan emak-emak di muka bumi ini. Merekalah kaum paling peduli, bahkan terhadap jomblo yang seringnya tanpa prepare. *Salam sungkem ke Bu Palupi.
Perjalanan Dimulai
Matahari sepenggalah saat kami melewati Pakong. Tepat di tikungan Waru yang pemandangannya eksotik, hijau segar dan terkadang berkabut itu, kami menepi untuk sarapan. Jadi, belum dikatakan sarapan jika belum makan nasi. Lol. Karena kami belum pernah ke jembatan gantung itu sebelumnya, di tempat pemberhentian kami menghubungi Pak Badrut (rekan guru yang sudah pernah sampai ke sana), menanyakan ancer-ancer destinasi. Kata Pak Badrut kami salah jalan. Kalau ingin lebih cepat sampai ke lokasi, harusnya kami lewat Palengaan-Pagantenan, bukan melewati Pakong-Waru. Hmmm, tak mungkin kami putar balik, lebih baik kami mengubah destinasi, ke Kapal Jodoh di daerah pantura misalkan. Syukurlah Pak Badrut menghubungi kami lagi, menyampaikan kalau jembatan gantung juga bisa dilalui dari arah Waru. Yey. Lanjutlah perjalanan kami.


Dari pasar Waru kami belok ke kiri, terus lurus mengikuti jalan. Sampai di perempatan pasar, kami belok lagi ke kiri, ke arah selatan. Sambil menyetir aku mengingat-ingat jalanan yang tak asing. Pohon jati di tikungan, rumah-rumah padat yang tegak dan bertingkat-tingkat. Aku ingat pernah melewati tempat ini sebelumnya. Ya, waktu itu tujuannya ke Pantai Jodoh, naik mobil bersama teman-teman FLP. Tetiba aku merasakan jalanan yang terus naik. Jalan aspal yang kami lalui sangat menanjak, rasa-rasanya tidak putus-putus, selalu menanjak. Beberapa detik kemudian jalanan berganti, meluncur. Menanjak, lalu meluncur lagi. Begitu terus. Astaga, meski sebelumnya sudah pernah melalui tanjakan-turunan, tetapi jalanan yang ini sungguh sesuatu. Sepertinya hanya terdiri dari dua sensasi, kalau tidak menanjak lurus, ya meluncur curam. Dulu ketika melalui jalan ini naik mobil dan duduk di kursi belakang, rasanya tidak begini-begini amat. Sungguh, pagi penuh tantangan. Meski jalannya bikin jari mencengkeram gas motor kuat-kuat, masih beruntung pemandangan sekitar membuat sejuk penglihatan.
Melihat kanan-kiri sepertinya semakin sepi rumah penduduk, Bu Aini yang berada di depanku berhenti. Kepada warga, ia dan Bu Devin menanyakan letak jembatan gantung yang menjadi tujuan kami. Oh, Tuhan … ternyata kami salah jalan. Harusnya saat di perempatan pasar itu, kami belok kanan, bukan belok kiri. Seingatku Pak Badrut memberitahu, setelah pasar Waru, belok kiri terus jalan lurus sampai ketemu pasar Batu Bintang. Di pasar itu nanti kami belok ke arah utara. Jadi, pasar yang kami lalui tadi, itu pasar Batu Bintang? Du du du … mari kembali menikmati naik-turun jalanan curam. :D
Yap, syukron Ya Rabbi, kami bisa melalui jalan terjal dengan selamat. Jalan ke arah utara pasar nyaman, datar tanpa tanjakan. Kami berhenti untuk mendapat petunjuk letak jembatan dari warga. Kami diberi tahu, sebelum masjid ada jalan ke arah timur, kami bisa mengikuti jalan itu. Sampai di persimpangan kami juga berhenti, kembali bertanya pada warga. Katanya, kami kudu jalan lurus ke utara, ketika ada pohon asam belok kanan, terus ikuti jalan hingga ketemu pemakaman. Ketika kembali bertemu warga, kami mengulang pertanyaan, di mana letak jembatan gantung?
Kami melalui pemakaman yang tampak kuno di sepanjang kanan jalan. Batu nisannya warna hitam tua, tak terawat. Pemandangan sekitar juga terlihat agak gersang. Mungkin karena musim yang mulai berganti kemarau. Akhirnya, akhirnya, tanda-tanda jembatan terlihat. Yey, sampailah kami di tempat tujuan dengan membayar karcis sepeda motor Rp2.000.
Jembatan Gantung
Ow, aku salah informasi ternyata. Jembatan gantung terpanjang se-Jawa Timur itu bukan terletak di Kecamatan Waru, melainkan di Kecamatan Batu Marmar, Desa Batu Bintang Dusun Bong Campor. Tak perlu berpikir lama, aku, Bu Palupi dan Bu Aini langsung berjalan ke arah jembatan begitu selesai memarkir motor. Bu Devin? Aku baru tahu kalau Bu Devin fobia dengan jembatan. Katanya trauma karena waktu kecil pernah jatuh dari jembatan. Jadi dia hanya melihat dan menunggu kami di area parkir. Untung di situ ada warung. Bu Devin bisa duduk di situ. :D
Apa kesan pertama kali saat menginjakkan kaki di jembatan? Jawabannya, tidak sesuai ekspektasi. Maksudnya, aku membayangkan jembatan yang akan aku kunjungi panjang sekali, lebih dari 200 meter gitu. Ternyata panjangnya hanya 120 meter. Ya, salahku sendiri sebenarnya, kenapa tidak mencari tahu informasi valid ketika mendengar ada jembatan gantung terpanjang se-Jawa Timur? Namun, aku segera melupakan ketidaksesuaian ekspektasi begitu sampai di tengah-tengah jembatan. Masya Allah, aku suka berada di ketinggian.
Tak kecewa mengunjungi jembatan ini, saat berdiri di tengah jembatan, kusaksikan view yang menenteramkan. Ketika melihat ke arah utara, hijau pepohonan membuat tenang pikiran. Aku merasa menjadi pribadi bebas tanpa tugas-tugas. Kalau melihat ke bawah jembatan, akan kita dapati sungai mengalir jernih. Dan kalau saja laut utara pulau Madura terlihat di balik pepohonan itu, pemandangannya pasti bertambah cantik. View sebalah utara jembatan lebih indah dibandingkan view sebelah selatan, karena lebih hijau, lebih hidup. View sebelah selatan tampak sedikit gersang. Bukankah perumpamaan diri kita juga begitu? Satu sisi memiliki keindahan, sisi lainnya ada pula ketidaksempurnaan yang menyertai.

Puas menikmati pemandangan di atas jembatan melintang, kami bertiga berjalan ke ujung timur jembatan hingga bertemu tebing yang terbelah. Sejenak kami mengabadikan diri dengan berfoto ria di sekitar tebing. Langit biru dengan bercak-bercak awan putih menambah keindahan hasil jepretan. Merasa sayang karena Bu Devin tidak ikut bersama kami, Bu Aini berinisiatif menjemput (membujuk) Bu Devin agar turut serta. Sementara aku dan Bu Palupi naik ke atas tebing, penasaran ingin melihat jembatan dari atas sana.
Bu Aini kembali tanpa hasil. Sayang sekali, tetapi apa boleh dibuat, tidak baik memaksakan kehendak pada orang lain, bukan? Bu Aini segera bergabung bersama aku dan Bu Palupi. Bu Devin nun jauh di warung entah sedang apa. :D Kami bertiga cukup lama duduk-duduk di atas tebing, sama-sama terdiam, sejenak tenggelam dengan pikiran masing-masing. Angin timur menyejukkan hari kami. Setelah puas me time, kami kembali ke tempat Bu Devin berada, tak lupa sebelumnya kami minta tolong ke adik-adik muda yang juga menikmati wisata di atas tebing, untuk memotret kami dengan latar jembatan gantung.
Sampai di tempat parkir, kami mengajak Bu Devin foto berempat di atas jembatan. Dia menolak. “Berfoto di pinggiran saja masak tidak berani, tidak sampai ke tengah, Bu Dev,” kali ini kami memaksa. Bu Devin pun mau. Kami kembali minta bantuan seorang pemuda yang sedang memainkan drone. Jadi, jembatan gantung Bong Campor ini tidak sepi. Banyak sekali pengunjungnya. Apa mungkin karena hari Ahad? Mengingat yang datang banyak pula dari kalangan bapak-bapak dengan jiwa mudanya. Entahlah.



 Rujak Bendungan
Aku pikir tidak adil jika sepanjang tulisan ini tidak membahas rujak Bendungan, yang sebenarnya merupakan destinasi utama kami. Sepulangnya dari Jembatan Bong Campor, kami masih mampir ke rumah saudara Bu Palupi. Sekitar 20 menit kami di sana, menumpang kamar mandi dan masih menikmati suguhan gambir plus sambel khasnya yang super pedas. Emmm, nikmatnya. Baik sekali saudaranya Bu Palupi. Jazakumullah khairan katsiran.
Perjalanan lanjut menuju Pakong. Di daerah Bendungan kami melambatkan laju motor sambil menghubungi Pak Wildan, menanyakan lokasi rujak yang amat ia favoritkan itu. Ketemu. Tempat jualan rujaknya mudah diakses, tepat berada di pinggir jalan, di pertigaan daerah Bendungan. Yap, Bendungan adalah nama daerah di Pakong. Aku pikir warung rujaknya kecil dan bentuknya kayu gitu, tetapi tidak, warungnya seperti rumah makan di kota Pamekasan. Temboknya bercat putih dan tempatnya bersih. Terlihat seperti bukan warung rujak kebanyakan. Warung itu bernama Suka Mampir. Agaknya rujak yang dijual di warung itu lebih terkenal dengan nama rujak Bendungan daripada rujak Suka Mampir.
Kami ingin makan rujak di lesehan sambil mengobrol-ngobrol santai. Maka kami memilih makan di teras rumah. Jadi kami masuk ke kawasan rumah empunya warung, yang memang bisa ditempati makan-makan oleh pelanggan. Keren. Jadi kalau mau rombongan menikmati rujak Bendungan, bisa banget lho.
Pesanan rujak pun datang. Kata Pak Wildan, tak ada yang mengalahkan rasa rujak Bendungan. Tak ada yang menandinginya di Pamekasan. Rujak Bendungan rujak legend yang terkenal bahkan di kalangan mahasiswa-mahsiswa KKN. Oke, mari kita buktikan.
Dari tampilan, oke juga. Di pinggir-pinggir piringnya tidak belepotan, jadi terlihat rapi-bersih gitu (aku kayak lagi komentarin penampilan orang nggak sih? Wkwk). Ketika dimakan, bumbu rujaknya terasa pekat dan halus. Biasanya kan kalau kita makan rujak, bumbunya sedikit kasar, terkadang ada biji pisangnya juga, nyempil. Rujak ini tidak begitu, bumbunya benar-benar halus. Entah diulek atau diblender aku tidak melihat prosesnya. Kemudian soal rasa, bumbunya kental dan rasa petisnya kayak sedikit beda. Emmm, enak. Hahaha. Terima kasih, Pak Wildan, atas rekomendasinya. O iya, menurutku ada yang menarik dari tampilan rujak Bendungan ini, yakni pada potongan-potongan cingurnya, lucu dan berseni. Cingurnya dipotong kecil-kecil menyerupai segitiga. Unik sekali. :D

So, apakah rujak ini recommended? Ya. Jika kalian melewati Pakong, tak ada ruginya mencoba menu rujak di Warung Suka Mampir, di daerah Bendungan. Nama penjualnya Mbak Iis. Harga rujaknya standar, satu porsi Rp10.000. Porsinya juga alhamdulillah bikin kenyang. Menurutku yang kurang hanya satu, sayurnya kurang beragam. Andai sayurnya ditambah kangkung dan taoge, pasti rasanya lebih nikmat. Betewe, aku bukan pecinta atau pemburu wisata kuliner, jadi kayak aneh ngereview makanan kayak gini. Lol.
Aku, Bu Palupi, Bu Aini dan Bu Devin sangat menikmati perjalanan ini. Juga amat menikmati rujak Bendungan, ditemani gerimis yang turun tak terduga, menambah kesan romantis makan siang kami. Betapa cuaca juga mendukung perjalanan kami. Masya Allah. Walhamdulillah. 
Perjalan kami berakhir di rumah Bu Palupi. Sekitar pukul 13.00 kami tiba di sana, salat dulu dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Lahaula wala quwwata illa billah.
 Pamekasan, 07 Juli 2020
@maftuhatinn


Komentar