Mitza, Einstein yang Lain





Kegelapan berpacu. Dalam beberapa detik yang tersisa, bagaikan arkeolog yang teliti, aku menggali-gali masa lalu untuk mencari jawaban. Aku berharap dapat mencari tahu, seperti yang dahulu pernah kuusulkan, apakah waktu benar-benar relatif.

Mileva “Mitza” Maric Einstein.


Agaknya telah menjadi kebiasaan, sebelum mulai me-review sebuah buku, aku, dengan tanpa berdosa akan menceritakan asal mula tertarik membaca buku ini―lebih tepatnya novel. Aku biasa menyebutnya pengantar. Tolong maafkan kesengajaan ini yak. :D  
Aku punya novel berjudul The Other Einstein ini sejak 28 Februari 2018 silam, menemukannya di Gramedia Royal Surabaya. Sebagai penyuka fiksi, tentu saja saat berkunjung ke toko buku, hal pertama yang terpampang jelas di depan mata adalah buku-buku fiksi. Mataku segera berbinar begitu melihat tumbukan novel berserakan di mana-mana, setelah sebelumnya kepala pusing dengan keramaian Royal dan khususnya kemacetan di Surabaya. Bertemu buku seakan penawarnya. Aku yakin sekali dengan novel yang segera menarik perhatianku ini, tulisan ‘Einstein’. Benar. Nama itulah yang menarik, apalagi setelah dengan cepat membaca tulisan kecil sebagai pelengkap persis di bawah judul utamanya, yakni, ‘sosok wanita di balik ketenaran Albert Einstein’. Oh, pasti novel ini bagus! Aku tidak akan salah pilih! Pikiranku saat itu. Aku meraih novel The Other Einstein tersebut, mendekap erat sembari mencari-cari buku lainnya.
Sejak bergelut dalam dunia pendidikan, sosok Einstein menarik perhatianku. Biar aku jelaskan. Maksudnya, aku tidak tertarik dengan sosok Einstein sebagai ahli fisika maupun teori-teori sains yang ia cetuskan. Sama sekali tidak! Aku tertarik pada sosok Einstein karena quotes yang diambil darinya, dan cukup terkenal serta menjadi perbincangan dalam dunia pendidikan dasar. Quotes dari Einstein yang menjadi favoritku ada dua: Pertama, “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.” Yak, sebagai seorang yang tertarik dengan dunia sastra, ini aku banget. Terus quote yang kedua, “Setiap orang terlahir genius. Tetapi jika menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka itu akan membuatnya merasa bodoh seumur hidup.” Woww … Aku menyukai quote ini. Tentu aku ingin tahu sosok wanita di balik masyhurnya nama Albert Einstein. Seperti kata banyak orang, di balik lelaki hebat, ada wanita hebat di belakangnya. Huhu … aku penasaran (sambil berharap barangkali sebagian dari diriku bisa menjadi sosok wanita dalam novel ini). :D :D
Pengantar yang sangat panjang, Gaesss. Maafkan ... maafkan (sambil berdoa nih, semoga pengantarnya tidak lebih panjang dari reviewnya). Oke, aku mulai!
The Other Einstein, novel karangan Marie Benedict yang bercerita dari sudut pandang Mileva Marić atau Mitza, panggilan akrabnya (semasa kecil). Mitza berasal dari Serbia, Eropa Timur. Ia datang ke Zürec, salah satu kota di Swiss, untuk melanjutkan pendidikan di Politeknik Federal Swiss, megambil jurusan Matematika dan Fisika. Perihal pendidikan, Mitza didukung penuh oleh papanya, sementara mamanya menentang jalur pilihan Mitza yang dianggap tidak sesuai dengan kodrat wanita kebanyakan. Di Serbia, hampir tidak ada wanita yang melanjutkan sekolah sampai ke universitas atau setingkatnya. Usia 18 tahun, wanita-wanita di Serbia sudah waktunya menikah. Di belahan bumi bagian barat, yang mana orang-orang menyebutnya Eropa, khususnya di Swiss, pada tahun 1896, pendidikan di sana belum menyentuh kaum perempuan. Amat jarang pada masa itu perempuan menempuh pendidikan tinggi.
Mitza seorang yang terlahir cacat. Ia memiliki pinggul yang lurus. Kakinya pincang sehingga ia tampak berjalan menyeret. Meski kondisinya demikian, tekadnya tidak pernah padam demi untuk mendaftar di Politeknik yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya. Mitza bertekad untuk menguasai fisika dan matematika.  Ia yang telah terdidik sebagai perempuan terpelajar sejak kecil, amat yakin bisa fokus belajar dan tidak akan terpengaruh dengan lingkungan buruk di sekitarnya.
Bergabunglah Mitza di Politeknik Federal Swiss. Dia menjadi perempuan kelima yang pernah diterima di jurusan Fisika dan Matematika Politeknik Federal Swiss pada saat itu. Satu-satunya perempuan di antara lima laki-laki teman sekelasnya, yang mana kelas mereka dikenal dengan nama Kelompok Enam. Albert Eistein adalah satu di antara kelima teman sekelas Mitza.
Berawal dari teman sekelas itulah kedekatan antara Mitza dan Einstein. Sejak awal kali melihat Mitza memasuki kelas, Einstein sudah tertarik pada Mitza. Mulanya Mitza menjaga jarak dengan semua orang, ia ingin fokus belajar, belajar dan belajar. Namun perlahan ia mulai membuka diri, terhadap teman-teman satu kosannya, terhadap Einstein dan bahkan Mitza bisa berdebat tentang sains dan berdiskusi secara akrab dengan teman-teman Einstein.
Dengan penampilan Einstein yang awut-awutan, tingkahnya yang jarang serius, kata ‘sepasang bohemian’ yang sering ia sematkan untuk Mitza dan untuknya sendiri, serta usahanya yang tampak selalu mendekat meskipun pernah ditolak, membuat pertahanan Mitza jebol dan akhirnya ia takluk. Padahal sebelumnya, demi menghindari Einstein, Mitza rela cuti satu semester dari Politeknik dan mengambil kelas lain di Universitas Heidelberg. Usaha Mitza untuk melupakan Einstein―demi bisa fokus belajar dan mengejar mimpinya―tidak berhasil. Alih-alih melupakan perasaannya kepada Einstein, sekembalinya ke Politeknik, ia justru menerima cinta Einstein dan menjalin hubungan dekat dengan lelaki yang suka melamun itu.
Yup, sampai pada bab 12 dalam novel ini, bab setelah Mitza memutuskan menerima cinta Einstein, aku merasa ada yang aneh dengan sosok Albert Einstein. Oke … oke … sebaiknya aku lanjut.
Semenjak Mitza dan Einstein berpacaran, semakin tampaklah keperibadian Einstein. Ia sering tidak mengikuti kelas, dan Mitza bersusah payah mencarikan alasan semata untuk melindungi Einstein. Bukan hanya itu, Einstein juga sangat mengandalkan Mitza dalam studinya, bahkan kariernya (lebih-lebih kelak ketika mereka telah menikah). Sementara Mitza, studinya sendiri terhambat, bahkan mimpi-mimpinya hilang dimulai sejak ia menghabiskan malam bersama Einstein di Danau Como, Italia.
Ya ampun … sebenarnya aku sedih (dan hampir tidak mau lanjut me-review), meski mungkin kalian tidak paham kenapa, tapi tulisan ini harus selesai kan?
Mitza hamil sebelum ia menyelesaikan pendidikanya di Politeknik. Sementara Einstein, ia egois, sibuk dengan urusannya sendiri, dengan dunianya sendiri, di samping ia juga sulit menemukan pekerjaan tetap. Einstein juga sering membual, berkali-kali ia berjanji akan menikahi Mitza, meminta Mitza sabar menunggu dan mengiming-imingi dengan kebahagiaan dan kesuksesan yang tak lama lagi akan mereka raih. Tetapi, hingga anak yang dikandung Mitza lahir, Einstein tidak juga berada di samping Mitza. Ia belum juga menikahinya. Bahkan dengan tega Einstein meminta Mitza menemui Einstein di Zürec, tanpa membawa serta Lieserl, putri yang dilahirkan Mitza dengan pertaruhan seribu nyawa.  
Sedikit kupersingkat ya (sebenarnya aku mau menyerah! Tulisan ini lebih cocok disebut resume daripada review, hehehe).
Mitza menikah dengan Einstein.
Lieserl meninggal (karena terserang wabah scarlet) di kediaman orang tua Mitza. Sebagai seorang ayah, tak sekalipun Einstein peduli terhadap anak pertamanya itu. Einstein belum pernah melihat Lieserl, ia juga tidak pernah berkunjung ke rumah Mitza di Serbia. Mendengar kabar sakit putrinya semakin parah, Mitza pulang ke rumah orang tuanya tanpa Einstein. Dalam perjalan balik ke tempat Einstein itulah, di stasiun Novi Sad, dalam kondisi hamil (kembali), Mitza mendapat pencerahan mengenai konsep sebuah teori fisika, tentang ruang dan waktu, yang kelak masyhur dengan nama teori relativitas.  
Tidak … tidak … Mitza dan Einstein bukanlah contoh teladan akan sosok pasangan yang sukses bersama. Sudah aku sampaikan sebelumnya, Einstein bukan lelaki seperti itu. Dengan keegoisan yang dimiliki Einstein, ia tak ingin ada saingan dalam karier dan ambisinya agar bisa terkenal. Eisntein hanya ingin sukses sendiri. Teori relativitas itu ditulis berdua dengan Mitza, bahkan lebih banyak Mitza perannya. Tetapi saat tulisan tentang relativitas terbit, nama yang tertera hanya nama Albert Einstein. Rupanya secara diam-diam Einstein menghilangkan nama Mitza dalam karya tersebut. Tidak hanya berkhianat dalam karya, Einstein juga berkhianat dalam hubungan pernikannya dengan Mitza. Ia berselingkuh dengan Elsa, sepupunya sendiri (yang kelak Einstein nikahi).
Setelah kematian Lieserl, mereka dikarunia dua putra bernama Hans dan Tete. Dan oh, setelah kelakuan Einstein yang terlalu, dan Mitza yang kehilangan banyak (anaknya, mimpinya, etc.), pada akhirnya, Mitza juga kehilangan cintanya, ia dan Einstein bercerai.
Sungguh merupakan cerita di luar dugaan. Kalimat ‘Di balik kesuksesan seorang laki-laki, ada wanita hebat di belakangnya,’ tidak sesuai dengan asumsiku mengenai laki-laki yang penyayang, menghormati istrinya, dan yang selalu berjuang keras untuk keluarganya. Membaca hingga halaman terakhir novel ini, sosok Einsten benar-benar jauh dari bayanganku sebelumnya. Dan, aku tidak ingin menjadi seperti Mitza, sosok wanita di balik ketenaran laki-laki yang ia cintai, sebagaimana yang diceritakan dalam novel ini. Hiks.
Novel sad ending ini sangat bagus menurutku (aku bilang begini hampir ke seluruh novel terjemahan yang pernah kubaca. :D). Bahasanya mengalir dan banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kehidupan Mitza. Kendati hanya sebuah novel, dalam artian cerita ini hanyal fiksi (yang tentu juga berdasarkan riset oleh pengarangnya), jujur aku dibuat baper sekaligus illfeel pada sosok Albert Einstein (dalam novel ini). Jika sosok Einstein di dunia nyata benar-benar seperti yang diceritakan sebagaimana dalam novel ini, iieww, benar-benar nggak banget!
The Other Eisntein mengajarkan bahwa, sebaiknya kita memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya. Novel ini cocok dibaca anak muda usia SMA ke atas, atau kamu anak eksak yang sangat menyukai matematika dan fisika. Di dalam novel ini banyak istilah teori-teori yang aku yakin, hanya anak-anak eksaklah yang paling paham. Novel ini amat bagus terutama buat kamu penyuka eksak sekaligus sastra. 😊
*Novel ini khatam dibaca pada Agustus 2018 lalu.

Judul: The Other Einstein
Penulis: Marie Benedict
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
ISBN: 978-602-455-253-4


Komentar