Pesan Bapak






PESAN BAPAK
(Review pesan Bapak dalam novel Sabtu Bersama Bapak)


Judul Buku      : Sabtu Bersama Bapak
Penulis             : Adhitya Mulya
Penerbit           : GagasMedia
ISBN                  : 979-780-721-5

Langsung saja…
Jadi, novel ini bukan hanya cocok bagi kamu yang lagi merindukan sosok Bapak. Jauh dari itu, kamu akan menemukan beberapa hal penting tentang bagaimana membangun sebuah keluarga harmonis lagi mandiri, tanpa saling bergantung antar anggota keluarga. Eitts… tapi kalau saya langsung menyodorkan beberapa part dalam novel ini tanpa ada pengenalan tokoh terlebih dahulu, rasanya kurang pas yak. Oke, tidak ada cara lain untuk mengenal selain dengan cara ta’aruf. :D

Tokoh (cukup nama panggilan saja)
Gunawan : Bapak
Itje : Mamah
Satya : Anak sulung Bapak dan Mamah
Cakra : Anak bungsu Bapak dan Mamah, memiliki nama kecil, Saka
Rissa : Istri Satya
Ayu : Gebetan Cakra yang kemudian mau menjadi istrinya Cakra

Ada dua message part yang paling saya sukai dalam novel ini dan saya bertekad tidak akan melupakannya, untuk bekal berumah tangga saya nantinya. :D

Pertama, saat Satya mengingat percakapan kedua orang tuanya di waktu ia masih berumur delapan tahun. Akan saya kutip, namun ini panjang sangat.

“Satya harus memberi contoh kepada Saka. Jadi anak pintar.”
“Hmm… hati-hati, Sayang,” ujar Bapak.
“Hati-hati bagaimana?”
“Saya suka sedih setiap kali ada orang tua yang memberi beban seperti itu pada anak sulungnya. ‘Kamu anak sulung, kamu harus kasih contoh untuk adik-adik kamu’. Pada zaman dulu, itu tepat. Tapi zaman sekarang, itu tidak tepat, sebenarnya.”
“Kenapa tidak tepat? Paman-paman kita yang sulung pada hebat semua.”
“Itu dulu. Zaman susah… zaman bertani dan punya anak banyak. Jika sulung tidak turun ke sawah dan menjadi orang tua ketiga, adik-adiknya tidak terurus. Anak-anak sulung dari generasi dahulu sangat dewasa bukan karena sukarela. Sadar atau tidak, punya 7-8 adik, memaksa para sulung menjadi orang tua ketiga. Menjadi guru bagi adik-adiknya. Menjadi pembantu untuk mereka. Menjadi tukang masak bagi mereka. Memegang pacul ketiga karena orang tua mereka harus mencari uang. Sulung menjadi dewasa karena kondisi sulit memaksa mereka. Zaman sekarang tidak seperti itu. Sulung dipaksa menjadi dewasa hanya kodrat mereka sulung, itu… Kakang gak setuju.”
“Itje masih gak ngerti.”
“Satya anak sulung kita. Kita yang membuat dia jadi anak sulung. Dia tidak pernah kok meminta dirinya menjadi anak sulung.”
“…”
“Seorang anak, tidak wajib menjadi baik atau pintar hanya karena dia sulung. Nanti yang sulung benci sama takdirnya dan si bungsu tidak belajar tanggung jawab dengan cara yang sama. Semua anak wajib menjadi baik dan pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan.”
“…”
“Jika kita ingin memotivasi Satya untuk belajar, jangan pojokkan dia dengan, ‘kamu anak sulung, harus jadi contoh’. Kasih lihat pada dia, orang tuanya juga ranking satu. Perlihatkan rapor saya pada mereka berdua. Itu yang akan membuat mereka berdua belajar.”
“…”
“Jika kita ingin memotivasi Satya dengan status sulung, kita coba dengan cara positif. ‘Kang Satya, lihat itu Saka, dia butuh perlindungan Kakang. He needs your help.’ ‘Kang Satya, lihat itu Saka selalu ingin pakai baju yang sama dengan Kakang. He looks up to you. He thinks you’re cool.’ ‘Kang Satya, coba ajarin Saka 1+1. Soalnya kalau sama Mamah, Saka gak mau denger. Dia maunya dengerin kakang. He thinks you’re smart.”
“…”
“Kamu lihat kan bedanya. Dengan seperti itu, Satya akan sukarela menjadi panutan. Menjadi panutan bukan tugas anak sulung kepada adik-adinya. Menjadi panutan adalah tugas orang tua untuk semua anak.”

Gimana guys, kutipan di atas panjang kan? Hehe… percakapan Pak Gunawan dengan Ibu Itje sebagaimana di atas, saya suka, sayang kalau misalkan saya lewatkan untuk tidak menuliskan secara lengkap. 😊
Kedua, nah, pesan ini cocok buat jofisa, singlelillah, dan yang sejenislah pokoknya. Jadi diceritakan Cakra dan Ayu tengah blind date di tempat Tur Wisata Kota Tua, kemudian mereka lanjut makan siang. Saat-saat menunggu menu yang mereka pesan itulah Cakra mengungkapkan pemikiran yang ia adopsi dari bapaknya. Bapaknya mengadopsi dari orang lain.

“… saya gak akan mencari perempuan yang melengkapi saya.”
“Loh kenapa? Bukankah memang yang seperti itu yang benar? Melengkapi?”
“Saya gak ya. Gak kayak gitu.”
“Kenapa?”
“Kata Bapak saya… dan dia dapat ini dari orang lain. Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu.”
“…”
“Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.”
“…”
“Nah. Misal, saya gak kuat agamanya. Lantas saya cari pacar yang kuat agamanya. Pernikahan kami akan habis waktunya dengan si kuat melengkapi yang lemah. Padahal setiap orang sebenarnya wajib menguatkan agama. Terlepas dari siapa pun jodohnya.”

Find someone complimentary, not supplementary (quote dari Oprah Winfrey). Begitu catatan kaki yang disematkan oleh penulis novel ini pada part Ayu dan Cakra, ketika mereka berdua blind date.
So, cukup sekian kali ya reviewnya. Sebenarnya masih banyak hal penting yang perlu direview, seperti hubungan keluarga kecil Satya dan Rissa, hubungan Cakra dengan bawahannya, Ibu Itje yang berhasil menutupi penyakit yang dideritanya dari Satya dan Cakra, etc. Tentu saja lebih mantabbe’ kalau kalian baca novelnya langsung, dari laman pertama hingga akhir. Kalua saya sih, tidak boring membaca novel ini, karena lucu, kadang juga baper. Bahkan saya tuntas membaca novel ini dalam sehari (kebetulan bacanya pas lagi liburan :D). Namun kalau menurut saya, novel ini lebih cocok dibaca oleh tingkat mahasiswa ke atas, artinya usia +18. Itu saja. Sekian. Terima kasih.

Komentar