Cerpen
Gadis bermata bulan sabit meringkuk di bangku pojok kelas. Tidak ada orang lain di sana. Tangannya gemetar. Wajahnya pucat. Ia berkali-kali mengeratkan dekapan tubuh dengan kedua tangannya. Dingin. Sendirian.
Handphone dalam ransel gadis itu berdering. Susah payah ia mengambilnya. Dengan tangan masih gemetar akhirnya ia bisa menjangkau handphone miliknya, kemudian menempelkan ke telinga. Otomatis gadis itu langsung tersambung dengan seseorang yang menghubunginya.
"Posisi Mala ada di mana sekarang?" suara di seberang terdengar khawatir.
Tidak ada respon dari Mala, gadis yang memiliki mata seperti bulan sabit itu. Ia menggigil ketakutan, tidak mampu berkata-kata.
"Dengarkan Tante, sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Hujan akan segera reda. Tenanglah! Ok! Tante tidak akan mematikan handphone."
Mala memejamkan mata. Ia mengembuskan nafas pelan-pelan, mencoba untuk tenang. Mala tidak perlu khawatir selama ada Tante di dekatnya. Sudah cukup menenangkan bagi Mala dengan hanya mendengar suara tantenya.
***
Berbanding jauh dengan keadaan gadis bermata bulan sabit itu, pemuda berdagu terbelah justru sedang riang membentangkan tangan di hamparan rumput taman kampus, telentang. Padahal tetesan air langit begitu deras menyapu permukaan tanah.
"Jika ditanyakan padaku, hal romantis apa yang ingin aku lakukan bersama pasangan nanti..." pemuda itu menggantung kata, memejamkan matanya. "Aku tidak akan ragu menjawab, aku ingin bisa menikmati hujan bersamanya." Ia tersenyum melanjutkan kalimatnya.
"Bersama siapa?" temannya yang juga telentang disamping pemuda itu bertanya.
Pemuda itu kembali tersenyum. "Bersama pasangan halalku."
"Lebay ah..." temannya terkekeh.
"Diamini dong, Bro. Mumpung lagi hujan nih."
Keduanya tertawa bersama.
Andi –pemuda yang memiliki dagu terbelah, berharap mimpinya bisa menjadi nyata. Hujan adalah salah satu momen yang sangat disyukuri Andi dalam hidupnya.
***
Mala merasakan tatapan tidak bersahabat Andi, satu-satunya teman kelompok Mala dalam menyelesaikan tugas wawancara di panti asuhan. Lihatlah Andi, dia tidak memperhatikan penjelasan Mala, malah bermain-main dengan pulpen di tangannya.
Mala merasa tidak nyaman dengan sikap Andi. Tapi dia bisa apa? bukan maunya pula dia satu kelompok dengan Andi. Mala menyadari betapa Andi berusaha bertukar tempat dengan teman yang lain, hanya karena dia tidak mau satu kelompok dengan Mala. Percuma, meski wajah Andi memohon, tidak ada satu pun yang bersedia bertukar dengannya.
"Kalian memang hanya berdua, tapi bukan berarti kalian akan berkhalwat. Ayolah Andi, ini tugas wawancara sekaligus observasi di tempat sosial, bukan di pantai sepi," tegas pak dosen ketika Andi mengeluhkan permasalahannya.
"Tapi, Pak..."
"Jika kamu tetap bersikeras, cari teman yang mau bertukar kelompok denganmu," pak Dosen memotong, tidak mau berdebat.
Maka sekarang duduklah Andi dan Mala di ruang perpustakaan, membicarakan rencana dan persiapan tugas mereka selama di lapangan nanti.
"Aku tahu, bukan karena aku perempuan dan kamu laki-laki, bukan itu alasan sebenarnya." Mala menundukkan kepala. Cukup baginya bicara panjang lebar namun tidak ada tanggapan berarti dari Andi. Apakah Andi tidak tahu? Mala juga tidak suka jika harus satu kelompok dengannya, apalagi hanya berdua.
"Jika kamu keberatan kita satu kelompok, kita bisa jalan sendiri-sendiri, tinggal tentukan aku dibagian mana dan kamu dibagian apa." Mala berharap usulannya dapat mencairkan suasana terlanjur canggung diantara mereka.
Andi mendesah, tajam melihat Mala. "Kita akan menyelesaikannya bersama. Ini kerja tim, bukan kerja sendiri-sendiri," tegas Andi.
Andi berdiri. "Besok pukul 07.00 kita harus sudah sampai di tempat. Jangan telat!" pesannya sebelum meninggalkan Mala.
Kini Mala yang mendesah. Sungguh, bukannya Mala tidak berusaha bertukar kelompok, tapi memang tidak ada yang mau bertukar dengannya. Mereka beralasan, tugas yang diberikan pada Mala dan Andi kurang menantang. Apa menariknya mewawancarai penghuni panti asuhan dibandingkan pergi ke instansi-instansi sosial pemerintahan? Di mata mahasiswa pragmatis, pergi ke tempat instansi pemerintahan jauh lebih berbobot dibandingkan tempat sosial kelas bawah.
Dari awal menjadi mahasiswa, Mala menyadari judge kepada dirinya. Ia yang tidak suka hangout. Ia yang memakai baju dan jilbab panjang, kontras dengan pakaian teman-teman perempuannya yang lain. Ia yang tertutup dengan dunia interaksi antara laki-laki dan perempuan. Gambaran seperti itulah yang tidak sengaja Mala dengar dari teman-temannya, termasuk Andi. Mala tidak pernah pusing dengan penilaian orang lain, tidak sama sekali. Ada yang lebih serius menyita waktunya, yang kadangkala bisa menyebabkan keringat dingin bercucuran, menguras energi perasaan. Sesuatu yang ingin dia atasi sejak dulu.
***
Temaram di kamar Andi. Ia rebah di kasur, memejamkan mata, memutar ulang potongan-potongan aktivitas seharian berlalu. Andi mendesah kasar. Apa yang telah dia lakukan pada Mala? Seberapa pun besarnya rasa tidak suka Andi pada gadis itu, tak seharusnya dia bersikap dingin dan mengabaikan usulan Mala. Gadis itu sebenarnya memiliki konsep yang bagus, matang dan detail. Sial! Ego Andi tidak mau diajak kerjasama, selalu keras kepala menghadapi apa yang tidak dia sukai.
Tangan Andi bergerak kasar, tak sengaja menjatuhkan sesuatu dari atas kasur. Bunyi benda jatuh. Tapi apa? Bukannya pagi sebelum meninggalkan kamar Andi sudah merapikan tempat tidurnya, tidak meninggalkan secuil benda diatas kasur selain perlengkapan tidur.
Andi menghidupkan lampu. Matanya memicing melihat sebuah buku tergeletak di lantai. Andi meraih buku itu lantas tersenyum membaca judulnya : Wonderful Family. Pastilah buku itu dari mamanya. Akhir-akhir ini mama Andi selalu menyinggung tentang pernikahan, bergaung betapa pentingnya menikah dini.
Ada yang terselip dalam buku itu, sebuah foto. Andi mengambilnya, melihat dengan saksama. Seorang gadis sedang menunjuk entah apa. Gadis itu tidak fokus pada kamera, tapi wajahnya terlihat jelas. Kerudungnya menutupi dada. Senyumnya menular lantaran mata gadis itu juga tersenyum, membentuk bulan sabit. Lihatlah, bahkan Andi tersenyum melihat sekilas foto di tangannya. Tapi tunggu, Andi seperti mengenal gadis bermata sabit dalam foto itu. Mala. Bukankah gadis itu mirip dengan Mala? Apa dia Mala? Tapi Andi belum pernah melihat Mala tersenyum sebagaimana gadis dalam foto itu tersenyum. Mama Andi pasti memiliki jawabannya.
"Hai sayang, baru Mama akan memanggilmu. Papa belum pulang, sepuluh menit lagi katanya sampai rumah." Mama menyadari kedatangan Andi, namun tangannya tetap cekatan menyiapkan makan malam.
"Mama yang meletakkan buku ini di kamar Andi?" Andi mendekati mamanya.
"Wah, jadi kamu sudah melihatnya." Wajah Mama riang melihat Andi memegang buku itu.
Mama menarik lembut tangan Andi, mengajaknya duduk di kursi makan.
"Jadi bagaimana menurutmu?" Mama Andi penasaran dengan respon yang akan diberikan anaknya. Memang benar, mama Andi yang meletakkan buku itu di kamar anaknya.
"Mama kenal dengan gadis di foto ini?" Andi tidak kalah penasaran menunggu penjelasan mamanya.
Mama mengangguk. "Dia keponakannya teman Mama. Kamu tahu, Nak, sejak pertama kali bertemu dengannya, Mama langsung jatuh hati. Jika kalian bersama, Mama yakin kalian akan cocok satu sama lain." Mama menatap Andi penuh harap, walau begitu raut wajahnya masih sama, tetap berseri-seri.
Bagaimanalah urusan ini? Selama ini Andi tidak pernah menolak permintaan mamanya, tidak satu kali pun. Bagaimana bisa menolak jika Andi sendiri tahu, apa yang disukai mamanya adalah apa yang dia sukai pula. Bahkan Andi sendiri yang meminta mamanya agar mencarikan pasangan, jika memang mamanya ingin dia segera menikah.
"Si... siapa nama gadis dalam foto ini?" Andi terbata bertanya.
"Mala," Mama Andi tersenyum. "Nama lengkapnya Maelan Ryani."
***
Andi tiba di lokasi panti asuhan kurang lima belas menit dari waktu yang dijanjikannya pada Mala. Andi merasa beruntung karena datang lebih dulu, ia jadi mempunyai alasan untuk kembali bersikap menyebalkan pada gadis itu. Andi menduduki kursi yang tersedia di taman mini, di depan bangunan panti asuhan. Pikiran Andi kembali mengajak nya mengingat percakapan dengan mamanya tadi malam.
Apa yang salah dengan Andi? Selama dia tumbuh menjadi remaja hingga saat ini, dia tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti teman-temannya. Aneh memang, diusianya yang menginjak dua puluh satu tahun ini ia belum pernah merasa berdebar-debar karena seorang gadis, belum pernah tersenyum sendirian hanya karena memikirkan seorang gadis. Tidak ada wanita yang benar-benar bisa membuatnya nyaman selain mamanya sendiri. Itulah alasan kenapa Andi meminta mamanya untuk mencarikan calon pendamping, karena pasti mamanya akan memilih calon yang tepat untuknya. Tidak pernah ada dalam bayangan Andi, kalau wanita pilihan mamanya itu adalah Mala. Gadis yang menurutnya kaku dan sombong. Gadis yang paling ingin dia hindari.
Andi teringat kejadian awal semester kuliah. Saat itu, setelah selesai menyampul tugas makalah, Andi hendak menaiki sepeda motor yang sengaja dia parkir di depan tempat foto kopi. Tiba-tiba sebuah mobil sedan melaju di kubangan aspal yang terdapat sisa air hujan, tepat di hadapan Andi. Alhasil genangan air itu memuncrat, mengotori pakaian Andi. Ia melihat gadis yang duduk di samping kemudi sempat menoleh padanya. Gadis itu Mala, Andi mengenalinya, bahkan ia satu kelas dengannya. Andi terpaksa pulang dan absen pada jam mata kuliah pertama. Yang membuat Andi kesal, Mala tidak pernah meminta maaf atas kejadian itu. Sejak saat itu Andi tidak menyukai Mala, menganggap gadis itu sombong.
Andi melihat jam tangannya. Sudah pukul 07.00 WIB. Mala belum juga terlihat walau hanya sebenang jilbabnya. Apakah dia tidak datang? Andi mengambil handphone di saku celana, hendak menghubungi Mala. Tapi bagaimana bisa menghubungi jika dia tidak memiliki kontaknya. Benar-benar menyebalkan, gumam Andi dalam hati.
"Assalamualaikum..." sapa seseorang dari arah belakang Andi.
Andi menoleh. "Waalaikum salam, Bu," jawab Andi, sembari sedikit menundukkan badan, memberi hormat.
"Mahasiswa yang mau meneliti, bukan?" Ibu setengah baya itu ramah bertanya.
"Benar, Bu." Andi mengangguk, kemudian memperkenalkan diri.
"Mari masuk! Temanmu sudah di dalam sejak satu jam yang lalu." Ibu itu mempersilahkan Andi melangkah terlebih dahulu.
Kapan gadis itu menerobos masuk? Bukankah Andi cukup lama menunggunya di luar?
"Kak Mala ada di ruangan sebelah sana," Ibu setengah baya itu menunjuk ruangan yang bertuliskan 'Kamar Bermain' di atas pintu.
"Masuk saja, saya masih mau menyiapkan kue untuk anak-anak." Sejak menyapa Andi di depan, ibu itu tidak pernah melepaskan senyumnya. Persis seperti mama Andi. Selalu tersenyum.
"Terima kasih, Ibuuu..." Andi sengaja memanjangkan kalimatnya.
"Neli. Panggil saja bu Neli." Ibu itu menyebutkan nama, diiringi senyum khasnya.
"Baik Ibu Neli. Terima kasih," Andi tidak kalah memberikan senyum terbaiknya.
Andi mendekati kamar bermain. Ia berdiri mematung ketika sampai di tengah pintu yang memang sengaja tidak berdaun. Apa yang Andi dengar dan pemandangan yang dia lihat di hadapannya, entah kenapa terasa menentramkan hati. Anak-anak lucu menggemaskan, terlihat takjub mendengarkan kisah yang disampaikan oleh seorang gadis. Dia memang Mala. Gadis dengan mata membentuk bulan sabit itu. Mala bercerita dengan penuh ekspresif, terkadang tersenyum riang kepada anak-anak yang ada di hadapannya.
"Andi..." suara Mala membuyarkan lamunan Andi.
"Eh," seru Andi, hampir terperanjat.
"Adik-adik, teman kakak sudah datang," Mala memberitahu adik-adik panti asuhan, menunjuk ke arah Andi lewat isyarat alis dan matanya.
Seorang gadis kecil menghampiri Andi. "Ayo perkenalkan diri Kakak," Gadis kecil yang memakai kerudung biru itu menarik lengan Andi agar berada di depan, di dekat Mala.
"Halo semuanya," Andi canggung menyapa anak-anak panti asuhan.
Andi sekilas melihat Mala yang berdiri di sampingnya. Mala tersenyum sambil mengangguk, meyakinkan Andi agar memperkenalkan diri.
"Kakak temannya kak Mala. Adik-adik bisa panggil kakak, kak Andi." Andi sudah bisa menyesuaikan diri dengan suasana di panti asuhan. Pada dasarnya ia memang mudah bersosialisasi.
Barang tiga puluh menit Andi dan Mala menemani anak-anak panti asuhan di kamar bermain. Setiap hari minggu pagi anak-anak memang memiliki jadwal bermain di dalam ruangan, yang sengaja di desain khas ruangan anak-anak sekaligus ruang perpustakaan. Ada banyak permainan dan buku-buku bergambar di ruangan itu.
Selama tiga puluh menit itu pula Andi diam-diam memperhatikan Mala. Andi belum sepenuhnya percaya dengan kepribadian gadis itu. Alangkah berbeda Mala yang dia kenal sebelumnya dengan Mala yang kini bersamanya menemani anak-anak panti asuhan. Andi benar-benar bisa melihat mata tersenyum pada gadis itu, membentuk bulan sabit.
Ibu Leni dan seorang ibu lebih muda dari bu Leni memasuki kamar bermain, keduanya memegang nampan berisi cupcake brownies kukus. Anak-anak riang menerima cupcake tersebut ketika ibu Leni memberikannya pada masing-masing anak.
Ibu Leni tersenyum sambil memberikan kue pada Mala dan Andi."Silahkan kak Mala, kak Andi. Semoga kalian suka dengan rasanya," harap ibu Leni.
Mala dan Andi menikmati kue brownies tanpa rasa sungkan. Memakan kue brownies selagi hangat ternyata jauh lebih nikmat. Bukan hanya Andi yang mudah bersosialisasi, Mala pun dengan mudah bisa dekat dengan penghuni panti asuhan.
***
"Terima kasih banyak atas informasinya, Bu. Insyaallah besok kami kembali berkunjung." Andi berpamitan pada ibu Leni. Seharian Andi dan Mala berada di panti asuhan, mereka telah mendapatkan data yang dibutuhkan.
Mala mengernyitkan dahi mendengar perkataan Andi. Besok kembali berkunjung? Bukankah mereka bersepakat akan menyelesaikan tugas dalam satu hari?
"Sama-sama kak Andi. Anak-anak pasti senang bisa bertemu lagi dengan kak Andi dan kak Mala. Ibu yang seharusnya bertima kasih, kedatangan kalian berkesan sekali bagi mereka," Ibu Leni menyampaikan ungkapan terima kasih dengan tulus.
Mata Mala sedikit berair. Mala memeluk ibu Leni cukup lama, sebelum matanya benar-benar basah lantaran menangis. Setelah dirasa tenang, Mala melepaskan pelukannya.
"Kami pulang, Bu," pamit Mala.
"Assalamualaikum..." Mala dan Andi mengucapkan salam.
Jalan raya masih dua ratus meter lagi dari lokasi panti asuhan. Mala dan Andi berjalan bersisian, tidak terlalu dekat namun juga tidak terlalu jauh. Meski musim hujan belum berganti musim kemarau, langit seharian ini begitu cerah. Senja menyemburat jingga. Burung walet beterbangan di angkasa. Perahu para nelayan bertengger di laut dangkal, menambah kesan eksotik suasana di sekitar pemukiman panti asuhan.
"Kamu datang jam berapa tadi?" Andi memulai percakapan, memecah kebisuan diantara dirinya dan Mala.
"Jam 06.00 aku sudah sampai di panti."
"Sepagi itu?"
Mala mengangguk. "Aku ingin tahu kegiatan di panti bagaimana, kalau aku datang sesuai waktu, maka aku akan kehilangan kesempatan melihat aktivitas pagi penghuninya."
Samar-samar Andi tersenyum. Gadis yang berjalan di sisinya ternyata tidak seperti penilaiannya selama ini. Mala gadis yang cerdas, Andi tahu itu. Tapi Andi baru mengetahui kepribadian aslinya. Mala bukan gadis kaku seperti yang dia bayangkan, bukan gadis sombong seperti yang dia kira. Seharian menghabiskan waktu bersama Mala di panti asuhan, Andi merasa Mala adalah gadis yang menyenangkan. Semua anak-anak panti asuhan menyukainya. Hanya saja Andi merasa ada hal misterius dalam diri Mala, yang mungkin sengaja gadis itu sembunyikan.
Apa karena kepribadian Mala itulah yang membuat mamanya jatuh hati? Sejak sebelum dan sampai di gerbang Panti Asuhan, sebenarnya Andi meresahkan keinginan mamanya. Mama meminta agar Andi mempertimbangkan niat Mama menjodohkan dirinya dengan Mala.
"O ya Andi, tadi kamu bilang ke ibu Leni kalau besok kita akan berkunjung lagi, bukankah kita sudah mendapatkan informasi dan fakta yang kita butuhkan?"
"Itu... ya kita perlulah melakukan validasi data," Andi mengarang alasan. Ia sendiri tidak tahu kenapa tadi mengatakan demikian. Andi hanya merasa kunjungan tadi bukanlah kunjungan terakhir.
"Kamu tidak keberatan kan, besok kita kesana lagi?" Entah kenapa Andi merasa cemas Mala akan berkata tidak, mengingat sikap tidak baik Andi selama ini. Benarlah kata pepatah itu, tak kenal maka tak sayang. Andi tidak peduli jika Mala bingung terhadap perubahan sikapnya saat ini.
Langkah Mala terhenti. Ia menghadap ke arah Andi yang juga berhenti melangkah.
"Kenapa harus keberatan, justru aku senang bisa berkesempatan mengunjungi anak-anak panti lagi."
Mata Mala kembali membentuk bulan sabit. Deg... Andi merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Refleks Andi memalingkan wajah.
"Ayo jalan! Nanti kita ketinggalan angkot." Andi buru-buru meneruskan langkahnya.
"Andi!" panggil Mala.
Andi berhenti melangkah, menoleh ke belakang.
Mala mendekat.
"Terima kasih ya Andi, hari ini aku benar-benar bersyukur karena cuaca sangat cerah. Tadinya aku khawatir, termasuk khawatir kamu tidak mau bekerjasama dalam tugas ini. Terima kasih karena mau bersikap normal padaku, walau terkadang aku tidak mengerti kenapa teman-teman tidak menyukaiku. Semoga itu hanya prasangkaku saja. Aku minta maaf jika pernah khilaf, dan terima kasih seharian ini telah menjadi satu-satunya teman kelompok yang menyenangkan."
Lagi-lagi mata itu terseyum, membentuk bulan sabit. Namun ada yang berbeda, seyum dan mata itu seakan menyimpan mendung.
***
Dari balik jendela kaca bangunan panti asuhan, Andi dapat melihat gerakan lincah anak-anak bersama Mala. Mereka bermain di halaman belakang panti asuhan. Andi berjalan keluar, mendekati mereka.
Saat Andi berada di luar, langit tiba-tiba mendung. Cepat sekali angin membawa awan-awan nimbostratus menyebar ke penjuru langit. Anak-anak masih bermain riang, tidak begitu mempedulikan tanda akan turunnya hujan.
Berbeda dengan Mala, ia tidak lagi menikmati canda-tawa bersama anak-anak. Tubuh Mala menegang. Perubahan cuaca berimbas pada perubahan sikapnya.
Langit semakin gelap. Mala memegang dadanya yang sesak. Wajahnya terlihat pucat. Mala ingin berlari ke dalam panti asuhan, tapi kakinya berat untuk melangkah.
Rintik hujan mulai turun. Mala memejamkan mata ketika tetesan air langit menyentuh keningnya. Kenangan masa lalu itu muncul lagi, meraung memenuhi memori. Terekam jelas dalam ingatan Mala potongan-potongan kejadian yang menyebabkan dia trauma akan hujan beserta tanda-tandanya.
Bayangan masa lalu kembali mengambil alih dunia Mala saat ini. Semasa kanak-kanak, Mala mendapatkan perlakuan tidak baik dari ayahnya sendiri. Ayah Mala sering membentaknya dan berlaku kasar terhadap ibunya. Ayahnya suka memaksakan kehendak yang sebenarnya tidak Mala inginkan. Pernah Mala dihukum berdiri di tengah derasnya air hujan, dari siang sampai petang, hanya karena Mala tidak sengaja menumpahkan air pada berkas kerja ayahnya.
Kemudian kejadian yang paling tidak bisa Mala lupakan adalah bayangan tentang ibunya. Persis di hadapan Mala, ia saksikan ibunya dipukuli oleh suaminya sendiri, di tengah malam hujan pekat, hingga ibunya terjatuh, mengeluarkan banyak darah di kepala yang menyebabkan nafas ibunya berembus untuk terakhir kali. Sementara ayah Mala pergi meninggalkan rumah, membiarkan Mala dan ibunya berada dalam kegelapan. Waktu itu Mala menggigil, ketakutan, sama seperti yang dia rasakan sekarang ini. Ia takut pada hujan.
Andi mendekati Mala. "Mala, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?" ada kekhawatiran dari nada bicara dan raut wajah Andi.
Hujan di langit mengguyur deras, membasahi tubuh Mala dan Andi yang masih bergeming di tempat mereka berdiri. Sementara anak-anak sudah sejak tadi berhamburan ke dalam panti asuhan. Anak-anak melihat heran ke arah mereka berdua.
"Mala, ayo masuk! Nanti kamu sakit." Andi masih tidak mengerti, apa yang terjadi pada gadis di hadapannya? Andi terlihat sangat khawatir.
"Mala..." Andi menyentuh bahu Mala.
Mala seakan disadarkan melalui sentuhan tangan Andi. Ia membuka mata. Air matanya mengalir bercampur air hujan. Kedua tangan Mala memegang erat lengan Andi, ia membutuhkan pegangan agar tubuhnya tidak roboh. Jika saja Mala tidak sadar siapa lelaki di hadapannya, sudah sejak tadi Mala memeluk laki-laki itu. Tapi yang berdiri di hadapannya bukan Tante, yang selalu menenangkan Mala ketika sedang dihantui masa lalu. Yang berdiri di hadapan Mala adalah Andi, lelaki yang bukan mahramnya. Selama ini, Tante –adik kandung ibunya– yang selalu mendekap Mala ketika hujan beserta tandanya datang menakuti.
Hujan masih turun. Mala menatap Andi. Anehnya, ia merasa lebih baik. Perlahan Mala melepaskan pegangannya pada lengan Andi.
***
Andi merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Andi dapat merasakan luka dalam diri Mala. Apa yang bisa dia lakukan untuk membantu gadis bermata sabit yang saat ini sedang berdiri ketakutan di hadapannya?
Oh, Tuhan! Aku tidak tahu luka apa yang dirasakan gadis ini. Satu hal yang aku sadari, aku ingin mendekapnya, menenangkannya, berbisik padanya bahwa apapun yang terjadi, aku akan berada di sisinya. Aku ingin bisa menikmati hujan bersamanya.
_____________
*cerpen ini diterbitkan pula di wattpad MonikArrayyan : https://www.wattpad.com/405805992-embrace-me
Komentar
Posting Komentar