Penulis :
Ahmad Tohari
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :Kelima,
Maret 2015
Tebal :
216 hlm; 20 cm
ISBN :
978-979-22-8774-5
Sebelum saya memulai review, izinkan saya menceritakan awal mula saya
mengenal novel berjudul ‘Kubah’ ini.
Saat mengikuti reading challenge kelas
Middle Reader yang diadakan oleh
Forum Lingkar Pena Jawa Timur, kemudian disingkat menjadi RC FLP Kelas MR,
waktu itu, saya dan teman-teman yang bergabung dalam kelas tersebut mendapat
tantangan menghatamkan buku dengan tema ‘Politik’. Alhasil saya memilih dan melaporkan
buku berjudul ‘Sastra dan Politik : Repsesentasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde
Baru’ karya Yoseph Yapi Taum, yang mana pembahasan di dalamnya banyak terfokus
pada tulisan-tulisan sastra berkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September
(G30S) atau yang ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari
buku itulah saya bertemu dengan cuplikan-cuplikan novel Kubah karya Ahmad
Tohari. Walau hanya sedikit cuplikan, namun diksinya begitu ringan, cocok untuk
saya yang pada dasarnya tidak terbiasa membaca novel sastra kelas berat. Saya
berkeinginan membaca utuh novel karya Ahmad Tohari tersebut pada kesempatan
berikutnya. Alhamdulillah, satu minggu yang lalu saya menemukan novel tersebut
di Perpustakaan Daerah Pamekasan. Akhirnya di kelas High Reader FLP reading
challenge saya berkesempatan mengatamkan buku berjudul ‘Kubah’ ini. Walaupun
bukan termasuk kategori buku yang harus dihatamkan, paling tidak saya dapat
mereviewnya. Mari menyimak review novel Kubah yang saya tulis dibawah ini.
Karman namanya, tokoh sentral dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Diceritakan
Karman adalah bekas tahanan politik yang baru dibebaskan dari tempat
perasingan, di Pulau Buru. Di hari kebebasannnya, Karman merasa gamang,
tertegun melihat perubahan jalanan maupun rumah atau bangunan yang jauh berbeda
dari semenjak ia berada di Pulau Buru. Pantas saja, selama dua belas tahun
Karman diasingkan dan tak pernah sekalipun ia keluar dari tempat pengasingannya
itu. Yang paling diresahkan serta ditakuti Karman saat bebas sebenarnya, hendak
kemana ia selanjutnya? Ia berpikir keras, kalau ia kembali ke kampung halamannya,
ia takut tidak mendapat tempat mengingat ia pernah menyakiti masyarakat dengan
paham yang ikutinya. Berikut cuplikan sinopsis novel Kubah di sampul belakang
buku.
Tidak
mudah bagi seorang lelaki mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah
dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru. Apalagi hati
masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu, juga telah kehilangan
orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan
lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tidak lagi begitu
mengenalnya. Karman memikul dosa sejarah yang amat berat dan dia hampir tak
sanggup menanggungnya. Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya,
Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercayai oleh
Pak Haji, orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia
sendiri berpaling dari Tuhan, untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman
merasakan menemukan dirinya kembali, menemukan martabat hidunya.
Desa Pegaten adalah daerah tempat tinggal Karman. Ia lahir dan besar di
sana. Karman anak dari seorang mantri pasar. Karena gaji seorang mantri pasar
sangat lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka Pak Mantri (begitu ayah
Karman dikenal) dan keluarganya termasuk golongan priyayi. Merasa amat bangga
dengan status priyayinya, Pak Mantri tidak mau menggarap sawahnya yang mencapai
luas satu setengah hektar.
Musim paceklik melanda Pegaten, terlebih pada saat itu Jepang menguasai
kampung. Padi-padi dijarah oleh tentara Jepang, masyarakat hanya mampu memakan
ubi-ubian. Tak tahan apabila terus memakan ubi, Pak Mantri akhirnya sedikit
demi sedikit membarter sawahnya dengan beberapa kwintal padi milik Haji Bakir. Awalnya
Haji Bakir menolak, namun Pak Mantri memaksanya dengan mengancam akan
membocorkan padi yang disembunyikan Haji Bakir kepada tentara Jepang. Seluruh sawah
milik Pak Mantri berpindah ke tangan Haji Bakir, karena memang musim paceklik
sangat panjang dan meski telah menyerahkan seluruh sawahnya, Pak Mantri optimis
akan kembali pada masa kejayaannya setelah keadaan normal. Namun, apa yang
diharapkan Pak Mantri tidak pernah terjadi. Sampai ia meninggal, keadaan tidak
seperti sediakala, justru keadaan semakin melarat. Kelak, konflik mengenai
sawah ini akan menambah rasa benci Karman terhadap Haji Bakir.
Karman dan Bu Mantri serta adikya hidup miskin setelah meninggalnya Pak
Mantri. Menyadari penderitaan Karman dan adiknya, Bu Haji, Istri Haji Bakir meminta
Bu Mantri agar mengizinkan Karman tinggal bersama keluarga Haji Bakir. Akhirnya
Karman pun tinggal di rumah Haji Bakir, ia disekolahkan serta bisa bekerja
(tidak benar-benar bekerja) kepada keluarga Haji Bakir kemudian mendapatkan
imbalan. Sesungguhnya Haji Bakir hanya melatih Karman agar ia menjadi anak yang
mandiri. Karman kemudian dijemput oleh pamannya untuk melanjutkan sekolah. Kelak,
konflik mengenai Karman pernah bekerja pada keluarga Haji Bakir juga menambah
rasa benci Karman kepada Haji Bakir.
Haji Bakir memiliki anak perempuan bernama Rifah, beberapa tahun lebih
muda dari Karman. Rifah dan Karman berteman dekat, hingga ketika mulai dewasa Karman
menyadari benih-benih suka menjalari perasaannya. Karman di temani Pak Hasyim,
pamannya, bertandang ke rumah Haji Bakir dengan maksud meminang Rifah. Namun
lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir lantaran telah ada pemuda yang
mendahului Karman. Karman pulang dengan membawa kekecewaan yang begitu besar.
Hal inilah asal muasal Karman membenci Haji Bakir.
Setelah Karman menamatkan bangku SMP, Pak Hasyim menyatakan tidak mampu
lagi membiayai pendidikan Karman. Pak Hasyim sendiri memiliki anak-anak yang
juga membutuhkan pendidikan. Kaman mengerti keadaan pamannya. Ia pun tahu diri.
Karman akhirnya memutuskan mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya beserta
keluarganya, namun, dengan hanya berbekal ijazah SMP, cukup sulit mendapat
pekerjaan seperti yang dia inginkan. Melihat keadaan Karman, seseorang berniat
memanfaatkan Karman untuk kepentingan politiknya. Adalah Margo, Triman, dan si
Gigi Baja yang mengambil kesempatan mempengaruhi Karman hingga perlahan menjeratnya
mengikuti paham politik mereka, yakni partai komunis.
Usia Karman dapat dikategorikan memasuki tahap perkembangan remaja akhir
ketika mulai bergabung dengan partai komunis. Atas bantuan Triman ia bekerja di
kecamatan. Atas hasutan teman-teman partainya pula ia membenci Haji Bakir dan meninggalkan
kewajibannya sebagai orang yang beragama, meninggalkan Tuhan. Karman akhirnya
menikah dengan Marni, gadis yang memiliki belahan di kedua sudut bibirnya. Menurut
Karman, Marni lebih cantik dari Rifah. Keberadaan Marni mengobati kekecewaan
Karman terhadap penolakan keluarga Rifah. Dari pernikahannya dengan Marni,
Karman memiliki tiga anak, namun, anak bungsunya meninggal ketika kelak ia
ditahan di Pulau Buru.
Tibalah saatnya kaum komunis dibantai. Margo, Triman, si Gigi Baja, tak
terkecuali Karman, mereka tidak lepas dari tersangka sebagai kader komunis.
Margo, Triman dan si Gigi Baja dibunuh, Karman beruntung karena ia hanya
diasingkan ke Pulau Buru. Pada saat warga menemukan Karman, keadaannya lemah tidak
berdaya di tempat persembunyiaanya, berbulan-bulan Karman bersembunyi di
pemakaman dengan hanya memakan makanan mentah. Alasan itulah yang membuat warga
tidak tega membunuh Karman.
Selama di Pulau Buru, Karman tetap memiliki motivasi hidup walau ia sendiri
tidak tahu sampai kapan ia berada di tempat itu. Namun, semuanya berubah ketika
Karman menerima surat dari Marni yang meminta izin agar Karman mau melepaskan
Marni dan mengizinkan Marni menikah lagi. Betapa hancurnya hati Karman, hilang
sudah motivasi hidupnya. Padahal, selama ini Marni dan anak-anaknya adalah
sumber kekuatan Karman. Sejak mendapat berita itu kesehatan Karman menurun
drastis, ia tidak makan, ia tidak meminum obatnya. Karman benar-benar sekarat,
hingga seorang kapten datang menemuinya, berbagi rasa dengannya.
Namanya Kapten Somad. Berbeda dengan tentara lainnya yang tampak angkuh
dan tak mau peduli dengan nasib tahanan, Kapten Somad bertolak belakang dengan
kepribadian demikian. Kapten Somad berperan sebagai teman dan sebagai guru
spiritual untuk Karman. Melalui kesabaran dan keyakinan yang ditanamkan oleh
Kapten Somad, akhirnya Karman mencoba kembali pada Tuhan yang telah lama
ditinggalkannya. Berikut satu cuplikan antara Kapten Somad dengan Karman :
Kapten Somad merasa tersodok. Namun perwira itu cepat
bisa tersenyum.
“Kalau begitu, maafkanlah aku. Dan baiklah, mari kita
mulai sekarang. Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu
diantara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan
hilangnya orang-orang terdekat. Yang kini terjadi pada dirimu, saya kira,
adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu
percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi,
hanya kepercayaan terhadap kebesaran dan kasih sayang Tuhan-lah yang bisa
membuat kamu senang, tak merasa sia-sia. Apakah kata-kataku bisa sampai ke
hatimu?”
“Sedikit, Kapten.”
“Ketika kau merasa berada dalam pikiran
yang amat gelap, ketika kau merasa benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada
tangan-tangan terjulur kepadamu. Tangan pertama mewakili pertolongan Tuhan, dan
tanga lainnya mewakili kuasa buruk yang menghendaki kehancuran atas dirimu. Kau
dapat mengatakan siapa yang mengajakmu berputus asa serta meyakinkan dirimu
bahwa jalan itulah yang terbaik. Jangan ikuti ajakan dari kuasa buruk itu. Lebih
baik kau dengarkan suara nuranimu sendiri karena dia dapat melihat jalan yang
disukai Tuhan. Turutilah jalan itu, karena bersama Dia segala penderitaan jadi
terasa ringan tau bahkan tak ada sama sekali.”
Singkta cerita, tibalah hari kebebasan Karman. Kekhawatirannya ternyata
tidak terbukti. Ia kembali ke kampung halamannya, ke rumah Bu Mantri. Karena tidak
mungkin Karman kembali pada istrinya yang telah menjadi istri orang lain. Masyakat
banyak yang mengunjungi Karman di rumah ibunya, termasuk Marni. Tidak ada rasa
dendam dari mereka. Masyarakat menerima kepulangan Karman dengan tangan terbuka.
Bahkan Karman berbaur, ikut bekerja di tengah-tengah masyarakat, kemudian, Karman
dipercaya utuk membuat Kubah pada saat merenovasi Masjid milik Haji Bakir.
Dalam catatan terakhir buku ini, ditulis bahwa : Karman sangat bahagia
melihat wajah-wajah orang Pegaten yang berhias senyum dan sikap mereka yang
makin ramah. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan
kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan
dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu! Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu
terus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada setiap manusia
yang sadar akan kemanusiannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.
Pamekasan, 23 September 2017
Komentar
Posting Komentar