http://www.hipwee.com/list/7-alasan-mengapa-muslimah-pengajar-tpatpq-itu-istri-able/
SEBAIK-BAIK KALIAN, ENGKAU, WAHAI GURU!
SEBAIK-BAIK KALIAN, ENGKAU, WAHAI GURU!
Oleh :
Maftuhatin Nikmah
(Monik Arrayyan)
Pernah membaca buku Sokola Rimba? Buku yang berkisah tentang
pengalaman Butet Manurung bersama anak-anak rimba di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas (TNBD), di pedalaman provinsi Jambi, pulau Sumatera itu?
Baiklah, tentu saja tulisan ini bukan ingin mereview buku karya Butet atau
mendeskrpisikan wilayah Sumatera, melainkan pengaruhnya -buku Sokola Rimba-
kepada saya yang kemudian menemukan impian, yang mengantarkan saya menjadi guru
mengaji di Sekolah Islam Terpadu (SIT), di SDIT Al-Uswah Pamekasan, provinsi
Jawa Timur.
Saya mengenyam pendidikan strata 1 di STAIN Pamekasan.
Memilih program studi Pendidikan Agama Islam (PAI), jurusan Tarbiyah. Dulu
ketika masih di sekolah dasar saya pernah bercita-cita ingin menjadi seorang
guru, namun seiring bertambahnya usia, cita-cita itu pernah pupus entah kemana.
Takdir ternyata berkata lain, selepas dari menyelesaikan SMK Teknologi dan
Jaringan, saya justru tertarik memilih program studi PAI setelah sebelumnya
tidak diterima di Akademi Perawatan Pamekasan. Saya lebih tertarik mengambil
prodi PAI tersebut dibandingkan prodi lain yang ada di seluruh kampus kabupaten
Pamekasan. Kerena memang tawaran dari keluarga, saya hanya diperbolehkan kuliah
di daerah Pamekasan.
Sadar bahwa prodi yang saya ambil berkaitan dengan
menjadi seorang guru kedepannya, saya teringat akan cita-cita sewaktu kecil.
Apakah saya akan menjadi guru? Kalimat itu yang saya tanyakan pada diri
sendiri. Rasa-rasanya itu tidak mungkin mengingat kepribadian saya yang
tertutup dan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
Semasa mahasiswa saya cukup sering mengunjungi
perpustakaan kampus, sekedar membaca koran, mencari buku referensi untuk
membuat makalah, atau meminjam buku untuk bacaan pribadi. Suatu hari saya
menemukan buku unik dengan judul Sokola Rimba, membaca tulisan di cover
belakangnya membuat saya tidak bisa untuk tidak meminjam buku tersebut. Segera
saya pinjam buku itu dengan penuh penasaran ingin mencermati isinya. Sebuah
buku yang mengubah cara pandang hidup saya tentang pendidikan, di Indonesia
khususnya.
Ya, menjadi guru itu bukan hanya mereka yang
berprofesi sebagai guru dengan SK-nya, bukan hanya mereka yang berseragam,
pergi ke sebuah gedung yang dinamakan gedung sekolah, bukan hanya itu, tetapi
esensinya guru itu adalah kamu yang bergerak serta sadar betapa pentingnya
membantu dan mendampingi generasi muda kita menuju kehidupan lebih baik,
kehidupan yang memberikan manfaat bagi sesama makhluk hidup lainnya. Apakah ada
kaitannya cerita saya ini dengan menjadi guru mengaji? Biarkan saya melanjutkan
tulisan ini sehingga kamu bisa menemukan sendiri kaitannya.
Saya tidak bisa menjelaskan lebih mengenai pengaruh
buku Sokola Rimba tersebut yang memang sedikit banyak mengubah pola pikir saya
tentang dunia pendidikan. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, tulisan
ini bukan untuk mereview buku, tulisan ini untuk menuliskan kisah saya pribadi
menjadi guru mengaji di SIT.
Terik matahari di luar tidak membuat saya dan teman-teman
ingin cepat-cepat beranjak pergi. Jelas saja, kami berada di dalam ruangan
ber-AC, kami tengah asyik membicarakan persiapan wisuda kelulusan yang sudah di
depan mata. Dering handphone milik
saya kemudian berbunyi, dari nomor tidak dikenal, saya menjauh dari teman-teman
begitu tahu kalau seseorang yang menghubungi dari SDIT Al-Uswah, sekolah swasta
dimana saya menempatkan surat lamaran kerja beberapa bulan sebelumnya. Saya
diminta untuk datang ke SDIT Al-Uswah esok harinya. Alhamdulillah, semoga Allah
memudahkan jalan saya.
Dua hari sebelum wisuda saya mulai bekerja di SDIT
Al-Uswah sebagai staf administrasi. Kenapa sebagai staf administrasi? Bukankah
diawal tulisan saya menyebut-nyebut guru mengaji? Begitulah. Saya melamar
sebagai staf atau Tenaga Kependidikan di beberapa sekolah dasar karena saya
cukup menguasai Microsoft office,
saya belum percaya diri jika harus menjadi guru formal. Saya ingin beraktivitas
rutin (bekerja) setelah dinyatakan lulus pada saat sidang skripsi. Ingin
bekerja dibidang ketatausahaan karena yakin saya mempunyai kemampuan dasarnya,
yaitu komputer. Memilih sekolah dasar karena saya ingin dekat dengan anak-anak,
pengalaman Butet Manurung masih melekat di hati dan pikiran saya. Seperti
Butet, mendedidikasikan diri dalam dunia pendidikan merupakan impian saya. Dari
beberapa sekolah yang saya datangi, akhirnya saya diterima di SDIT Al-Uswah
Pamekasan, tempat dimana saya bisa belajar banyak dan menemukan makna lain
tentang hidup, tentang dunia anak-anak lebih dalam lagi dari apa yang saya dapatkan
pada buku Sokola Rimba.
Enam bulan bekerja sebagai staf administrasi di SDIT
Al-Uswah Pamekasan, tidak terhitung berapa banyak ilmu yang saya dapatkan.
Bagaimana memberi pelayanan kepada orang lain, belajar tata usaha dengan
sebenarnya, yang ternyata tidak cukup dengan hanya menguasi Microsoft office. Bagaimana bersikap
terhadap anak-anak dan melihat mereka sebagai pribadi yang fitrah, serta masih
banyak ilmu lainnya. Kemudian di penghujung tahun, Desember 2014, saya bersama
teman-teman sesama Guru dan Tenaga Kependidikan mengikuti tahsin metodologi
UMMI di sekolah. Kami manfaatkan waktu libur semester untuk belajar tahsin
selama 6 hari. Mengikuti tahsin tesebut membuat saya dan rekan-rekan guru sadar
bahwa ternyata masih banyak yang perlu kami perbaiki. Semoga bermanfaat ilmu
yang kami dapatkan.
Memasuki semester II tahun ajaran 2014-2015, saya
menerima amanah itu, menjadi guru mengaji kelas 1 di SDIT Al-Uswah Pamekasan,
menggantikan guru sebelumnya yang resign
dari sekolah. Awalnya saya sempat ragu sebelum menerima amanah tersebut,
bertanya kepada rekan sesama guru mengaji, “Kenapa saya, ibu?” Mereka (rekan
guru) memberikan motivasi kepada saya, mereka percaya saya pasti bisa. Kemudian
teringat akan hadist yang saya dapatkan dari belajar tahsin, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang
mempelajari Alquran dan yang mengajarkannya.” Baik, inilah saatnya saya
menjadi sebaik-baik kalian seperti sabda Rasulullah SAW. Amanah itu saya terima
dengan penuh harapan kepada dzat Yang Maha Mengetahui. Semoga saya diberikan kemudahan
dalam mengemban amanah ini. Saya berganti posisi dari mendampingi anak-anak
pada saat kegiatan jurnal dengan kemudian mendampingi dan membimbing anak-anak
belajar tahsin atau mengaji.
Saya masih perlu banyak belajar, terutama menghadapi
anak-anak. Alhamdulillah, enam bulan membimbing 20 anak belajar tahsin, tidak
ada tantangan yang perlu saya khawatirkan. Saya pun bisa menangani administrasi
pelayanan di sela-sela mendampingi anak-anak. Apakah semulus itu perjalanan
saya mendampingi anak-anak belajar tahsin? Tentu saja tidak, cerita berubah
ketika saya dihadapkan pada situasi baru pada tahun ajaran 2015-2016.
Hasil rapat kerja dengan seluruh guru disimpulkan
bahwa guru mengaji dibagi berdasarkan jilid, dan siswa menyetorkan hafalan Alquran
kepada guru mengajinya, bukan lagi kepada guru kelas seperti tahun ajaran
sebelumnya. Tujuannya, agar bacaan (hafalan) anak didik kami sesuai standart
sebagaimana yang telah kami pelajari dari mengikuti tahsin bersama Tim UMMI
Foundation. Sebagai guru mengaji saya pun diamanahi untuk membimbing dan
mengkoreksi hafalan Alquran anak didik yang mengaji kepada saya, yang awalnya
tidak pernah saya ketahui bagaimana hafalan mereka. Di tahun ajaran 2015-2016
saya memegang UMMI jilid 3. Dari semua kelas, ada 38 anak yang mengaji dan menyetorkan
hafalan kepada saya. Bersama saya mereka belajar tahsin setiap pagi dari hari senin
sampai kamis, dan menyetor hafalan Alquran setiap hari jum’at. Saya guru megaji
yang paling banyak memegang siswa pada waktu ini
Hari perdana, kedua, dan ketiga membimbing anak-anak
tahsin, saya merasa baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi di
hari keempat, saat anak-anak belajar di halaman yang tingkat kesulitannya lebih
tinggi, saya kewalahan, padahal mereka hanya mengaji separo halaman. Waktu satu
jam seperempat yang diberikan sekolah tidak cukup untuk mereka belajar tahsin bersama
saya, disamping metode yang kami gunakan masih individual karena memang tidak
memungkinkan kami menggunakan metode klasikal, terkait waktu dan media pula
yang menjadi pertimbangannya.
Sebelumnya saya belum menjelasakan, di SDIT Al-Uswah
Pamekasan anak-anak memulai kegiatan pukul 07.00 WIB. Mereka tidak langsung
mengikuti pembelajaran di kelas, melainkan ada kegiatan pagi yang harus mereka
ikuti, yaitu shalat dhuha, fonik, jurnal, dan mengaji. Kegiatan pagi ini
dimulai pukul 07.00 WIB dan selesai pukul 08.15 WIB. Pukul 08.15 WIB sampai dengan 08.30 WIB
digunakan untuk snack time. Barulah pada
pukul 08.30 WIB anak-anak memulai pembelajaran tematik di kelas masing-masing.
Bisa dibayangkan kegiatan tahsin bersama 38 siswa? Menggunakan metode
individual dengan waktu satu jam seperempat? Dan masih berbagi waktu pula
dengan kegiatan yang lain? Ya Allah, betapa waktu itu saya sangat kewalahan.
Beberapa anak terpaksa tidak mengaji karena waktu kegiatan pagi mereka telah
habis, padahal jatah waktu snack time
juga telah saya ambil. Sedangkan di hari jum’at, lebih lama lagi waktu yang
kami butuhkan, semrawut pula kegiatannya.
“Bu Nikmah, ada wali murid di kantor, mau bayar
katanya,” Lapor salah seorang guru. Saya yang pada saat itu sedang menyimak
bacaan anak-anak hanya bisa menganggukkan kepala dan terkadang berkata singkat,
“Ya bu…” Selesai membimbing, saya berkata kepada anak didik yang tiba giliran
antriannya. “Tunggu sebentar ya mas (atau mbak), ibu ada tamu.” Izin saya kepada
anak-anak. Saya pergi ke kantor demi melayani wali murid, meninggalkan
anak-anak didik yang sedang mengantri panjang bagaikan ular.
Demikian potretnya. Karena tugas utama saya di sekolah
sebagai staf, maka tidak mungkin saya mengabaikan wali murid atau membiarkan
mereka menunggu lama hingga saya selesai membimbing seluruh siswa. Sementara rekan
saya, kepala staf, tidak setiap pagi standby
di sekolah. Terkadang ia masih ke bank, terkadang ada pertemuan yang harus ia
ikuti, terkadang ia ada di lembaga PAUD, karena memang dia yang mengepalai administrasi
dari tingkat TPA-PAUD-SD. Saya berbagi waktu bukan hanya dengan kegiatan pagi
lainnya, tetapi saya juga berbagi waktu dengan pelayanan administrasi.
Saya berkata kepada diri sendiri, saya tidak boleh
mengecewakan anak-anak. Mereka yang sudah antri begitu lama agar bisa mengaji,
tetiba saya stop dengan alasan waktu
telah habis. Tersirat kekecewaan dari wajah-wajah mereka, dan saya tidak ingin mereka
kecewa, walau ada juga satu dua anak yang justru senang karena mereka tidak
perlu mengaji. Akhirnya saya berinisatif untuk datang lebih awal ke sekolah,
saya memulai lebih dulu kegiatan pagi pada pukul 06.30 WIB. Saya mengajak
anak-anak yang telah tiba di sekolah untuk segera antri mengaji kepada saya.
Alhamdulillah, untuk urusan waktu mengaji atau belajar tahsin ini bisa
terselesaikan. Tepat pada jam 08.15 WIB tidak terlihat lagi anak-anak masih
antri mengaji.
Tantangan lain yang saya hadapi ketika membimbing
siswa mengaji adalah masih ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan, kurang
antusias, dan terlihat malas-malasan ketika membaca. Saya berharap anak-anak
mencintai Alquran, senang mempelajarinya, bukan semata-mata karena paksaan,
melainkan karena mereka menyadari betapa pentingnya Alquran itu dipelajari.
Kesadaran seperti ini sulit ditemukan pada anak-anak, mereka masih dalam proses
menemukan, belum pematangan. Sebagai guru mengaji sebisa mungkin saya hindari
memaksakan kehendak saya kepada anak-anak. Saya pelan-pelan masuk dalam dunia anak-anak
dan ketika saya sudah menyatu dengan dunia mereka saya hantarkan dunia saya
kepada mereka, seperti yang pernah saya ketahui dari prinsip Quantum Teaching.
Pada anak yang mengalami kesulitan atau kurang
antusias ini saya sering mengajak mereka berbincang, ketika selesai mengaji
biasanya. “Mbak Urvi kalau pulang sekolah kegiatannya apa?” Saya bertanya. Yang
ditanya hanya tersenyum, seperti malu bercerita. Saya mempersilahkan mbak Urvi
menyelesaikan kegiatan pagi lainnya setelah sebelumnya menyisipkan kalimat “Di
rumah mengajinya bersama bunda atau ayah ya...” pesan saya. Mbak Urvi kelas 2
waktu itu, mengajinya lambat dan sulit membedakan panjang pendek bacaan.
Alhamdulillah pada semester II perkembangan mengaji dan hafalannya mbak Urvi
sangat signifikan dibandingkan teman lainnya. “Mbak Urvi mengajinya sudah
lancar ya,” saya memujinya, “Di rumah mengaji bersama siapa mbak?” Tanya saya,
melanjutkan obrolan. “Sama mbak Luluk,” jawabnya. Mbak Urvi terlihat lebih percaya
diri dibandingkan sebelumnya, ia tidak malu lagi berbicara atau menjawab
pertanyaan, walau masih bahasa yang singkat menurut saya. Saya sangat bersyukur
di rumah ada yang mendampingi mbak Urvi belajar mengaji, jadi tidak hanya
mengandalkan apa yang dipelajari di sekolah. Saya melakukan hal yang sama
kepada siswa lainnya, berharap pula siswa yang lain seperti mbak Urvi, di rumah
belajar dengan didampingi ayah atau ibunya atau siapa saja yang bisa
mendampingi. Terhadap permasalahan seperti tersebut saya komunikasikan dengan
wali kelas, dan wali kelas meneruskannya kepada orang tua atau wali murid.
Kemudian bagaimana dengan kegiatan setoran hafalan Alquran?
Pada paragraf-paragraf sebelumnya saya mengatakan kegiatan ini semrawut? Benar
sekali. Kegiatan setoran ini penuh tantangan, mulai dari siswa yang belum bisa membaca
Alquran, siswa yang tidak antusias menghafal, hingga siswa yang tidak tertib
ketika setoran.
Saya masih menyimak hafalan salah seorang siswa waktu
itu, tetiba di ujung, tempat anak-anak memanjang melingkar, terdengar keributan
di sana, di tempat muslim. Astaghfirullahal‘adhim,
batin saya beristighfar. Segera saya hampiri tempat asal keributan kemudian
menengahi dua anak yang sedang ribut. Saya pegang tangan mereka satu-satu. Saya
benar-benar dilema anatara harus meyelesaikan keributan itu atau melanjutkan
menyimak hafalan siswa. Terlebih dahulu saya memisahkan dua anak yang ribut
tadi, menjauhkan mereka satu sama lain. Saya mepersilahkan anak yang terlihat
paling emosi supaya duduk di dekat saya, dan membiarkan anak satunya tetap di
tempat semula. Saya pun melanjutkan menyimak hafalan anak didik yang terpotong.
Mendampingi kelas bawah memang diperlukan tenaga lebih,
tidak cukup hanya sekedar mengingatkan mereka lewat lisan. Tidak tertibnya
siswa inilah yang mengantarkan saya kepada koordinator guru mengaji. Saya
mengusulkan perpindahan beberapa siswa dari saya kepada guru mengaji yang lain.
Sudah beberapa minggu saya menyaksikan kegiatan hafalan tidak kondusif. Insya Allah
saya bisa mengatasi 38 anak jika itu kegiatan tahsin, atau keseluruhan
anak-anak kelas atas (kelas 4, 5, 6), tetapi untuk kegiatan menyetorkan hafalan
Alquran dimana siswanya kelas bawah, jujur saya merasa tidak mampu.
Alhamdulillah, usul saya diterima. Sekitar 10 anak pindah dari saya ke guru
mengaji yang lain, Bu Ela, kebetulan siswa yang dibimbing bu Ela sedikit
dibandingkan saya. Karena bu Ela adalah guru kelas maka, yang pindah mengaji
kepada bu Ela adalah anak-anak didiknya bu Ela sendiri. Sebenarnya saya berat
melepas mereka, anak-anak yang dipindahkan itu. Saya ingin tetap merangkul dan
membimbing mereka. Apalah daya, tidak mungkin saya mengikuti perasaan pribadi
dengan mengorbankan kemampuan-kemampuan mereka menghafal lebih baik dan lebih
banyak lagi kepada bu Ela, yang tentunya diharapkan mereka lebih kondusif
dibandingkan menghafal kepada saya yang tidak kondusif karena jumlah siswa yang
terlalu banyak.
Keputusan yang tepat menurut saya dengan memindahkan
beberapa siswa kepada guru mengaji yang lain, anak-anak menjadi lebih kondusif.
Pada semester II tahun ajaran 2015-2016 kenaikan jilid mulai berjalan, beberapa
anak didik saya naik ke jilid 4, beberapa siswa yang dari jilid 2 pun naik ke
jilid 3. Alhamdulillah, ruang kelas baru telah selesai dibangun. Ketika tiba
hari menghafal Alqur’an, saya bersama anak-anak yang biasanya berada di lantai
bawah, berpindah tempat ke ruang kelas baru yang masih belum di sekat. Tempatnya
luas memanjang.
Terkadang masih ada satu dua anak yang belum tertib
ketika menyetorkan hafalannya, namun masih bisa di kontrol karena saya dan
anak-anak telah membuat kesepakatan. Ketika ada anak yang ribut misalkan, maka
sementara saya posisikan dia berada di luar ruangan sampai dia bisa tertib barulah
diperbolehkan masuk kembali, bergabung dengan teman-temannya untuk menyetorkan
hafalan.
Di semester II ini saya lebih intensifkan lagi hafalan
anak-anak, khususnya mereka yang belum bisa membaca Alquran serta di rumah
tidak ada yang bisa membantu. Sebut saja namanya Habib (bukan nama asli). Mas
Habib baru naik jilid 3 menjelang akhir semester II di sekolah. Setiap harinya
saya talaqqi dia. Saya ingin sekali membantunya. Dia sudah kelas 4 SDIT tapi
belum bisa membaca Alquran, masih sangat terbata-bata ia membacanya. Ketika
saya mengkomunikasikan masalah mas Habib kepada wali kelasnya, saya mendapat
informasi bahwa di rumah mas Habib memang tidak mengaji, orang tuanya tidak
mempunyai kemampuan mengajari dan tidak pula berinisiatif memasukkan anaknya ke
tempat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Sedih melihat mas Habib, saya
tertantang untuk bisa membantunya. Akhirnya saya menawarkan kepada mas Habib
bagaimana kalau setiap harinya, selesai mengaji, saya dan dia murajaah hafalan Alquran
sebagaimana target yang telah ditentukan pada masing-masing kelas. Mas Habib
setuju. Saya talaqqi mas Habib, 1 sampai 3 ayat setiap harinya. Saya sangat
terharu, betapa tidak, mas Habib tidak pernah mengeluh, tidak pernah sekali pun
menolak tawaran yang saya berikan. Saya pernah menawarkan hal yang sama kepada
anak yang lain, bukan untuk di talqqi, tapi hanya murajaah karena anak ini bisa
membaca Alquran, tidak berlangsung lama anak itu mulai bosan, terbaca jelas
dari raut wajahnya. Alhamdullah, menjelang penilaian akhir hafalan siswa, mas
Habib mendapatkan nilai cukup memuaskan. Mas Habib bisa menghafal surah Al-A’la
dan surah At-Thoriq dengan benar dan lancar.
Setiap anak berbeda, mereka memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Satu metode bisa berhasil kita terapkan kepada anak
A, tapi belum tentu berhasil jika diterapkan kepada anak B. Anak-anak membutuhkan
proses dalam belajarnya sehingga mereka bisa menguasai, gurupun membutuhkan
proses untuk selalu melakukan inovasi pendidikan. Dalam hidup ini, semuanya
membutuhkan proses. Saya mengetahui betul, guru-guru di SDIT Al-Uswah Pamekasan
selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Begitu pula guru-guru
di luar sana. Banyak ilmu yang saya dapatkan dengan menjadi bagian dari
keluarga besar SIT. Sudah sepantasnya saya membalas dengan mendedikasikan diri
dalam dunia pendidikan, di SDIT Al-Uswah khususnya, seperti yang saya mimpikan
pada tahun-tahun sebelumnya.
Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT. Dialah yang
memudahkan jalan kita menuju kebaikan. Saat ini, tahun ajaran 2016-2017, saya
memegang jilid 5 dengan jumlah siswa sebanyak 20 anak. Mereka sangat bisa
dikontrol, mungkin karena rata-rata sudah kelas 4 dan 5, yangmana mereka sudah
mengerti perintah dan tanggung jawab. Saya juga memiliki rekan baru, sesama
staf administrasi. Segala urusan pelayanan diatasi oleh rekan baru saya,
sehingga saya tidak lagi berbagi waktu antara kegiatan pagi dengan pelayanan
administrasi. Terima kasih ya Allah.
Begitulah kisah saya menjadi guru mengaji di SDIT
Al-Uswah Pamekasan. Ada suka dan ada duka pula yang saya rasakan. Ketika
melihat anak-anak antusias menyetorkan hafalan maupun mengaji, saya bersyukur
dan tetap menyemangati mereka. Ketika melihat anak-anak tidak bersemangat,
lesu, saya merasa sedih dan selalu timbul pertanyaan, ya Allah apa yang harus
saya lakukan untuk mereka?. Yang pasti, baik suka maupun duka, seorang guru
harus tetap membantu siswanya, menyemangati siswanya, memberikan motivasi pada
siswanya, mendoakan siswanya. Jika bukan karena pertolongan Allah, pasti
menjadi sia-sialah usaha yang kita kerjakan. Semoga tidak sia-sia ilmu yang
disampaikan guru kepada siswa-siswanya, semoga menjadi bekal amal tidak
terputus untuk guru, dan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk mereka, anak-anak
itu.
Satu hal yang selalu saya yakini semenjak membaca buku
Sokola Rimba hingga dua tahun lebih menjadi bagian dari SIT bahwa menjadi guru
itu bukan sekedar pilihan, melainkan cita-cita yang seyogyanya tertanam dalam
setiap individu dewasa, apalagi bagi mereka yang memilih jalur guru sebagai
profesi. Dari cita-cita itu lahir tanggung jawab mulia, bagaimana melahirkan
generasi penerus yang cinta bangsa, negara, dan Islam khususnya. Wahai! Apapun profesimu,
sesungguhnya engkau semua adalah seorang guru, ikhlas dan berbahagialah, karena
dengan menjadi guru kita termasuk dalam kategori sebaik-baiknya, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik mausia adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain” (HR. Thabrani
dan Daruquthni)
“Sebaik-baik
kalian, yang mempelajari Alquran dan yang mengajarinya” (HR. Bukhari)
Barakallah. Semoga Allah memudahkan langkah kita
berjuang di jalan-Nya, lewat jalur pendidikan ini. Amiin.
Pamekasan, 12 September 2016
Komentar
Posting Komentar