Perjalanan Bercita

http://www.hipwee.com/list/7-alasan-mengapa-muslimah-pengajar-tpatpq-itu-istri-able/

SEBAIK-BAIK KALIAN, ENGKAU, WAHAI GURU!

Oleh : Maftuhatin Nikmah
(Monik Arrayyan)

Pernah membaca buku Sokola Rimba? Buku yang berkisah tentang pengalaman Butet Manurung bersama anak-anak rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), di pedalaman provinsi Jambi, pulau Sumatera itu? Baiklah, tentu saja tulisan ini bukan ingin mereview buku karya Butet atau mendeskrpisikan wilayah Sumatera, melainkan pengaruhnya -buku Sokola Rimba- kepada saya yang kemudian menemukan impian, yang mengantarkan saya menjadi guru mengaji di Sekolah Islam Terpadu (SIT), di SDIT Al-Uswah Pamekasan, provinsi Jawa Timur.
Saya mengenyam pendidikan strata 1 di STAIN Pamekasan. Memilih program studi Pendidikan Agama Islam (PAI), jurusan Tarbiyah. Dulu ketika masih di sekolah dasar saya pernah bercita-cita ingin menjadi seorang guru, namun seiring bertambahnya usia, cita-cita itu pernah pupus entah kemana. Takdir ternyata berkata lain, selepas dari menyelesaikan SMK Teknologi dan Jaringan, saya justru tertarik memilih program studi PAI setelah sebelumnya tidak diterima di Akademi Perawatan Pamekasan. Saya lebih tertarik mengambil prodi PAI tersebut dibandingkan prodi lain yang ada di seluruh kampus kabupaten Pamekasan. Kerena memang tawaran dari keluarga, saya hanya diperbolehkan kuliah di daerah Pamekasan.
Sadar bahwa prodi yang saya ambil berkaitan dengan menjadi seorang guru kedepannya, saya teringat akan cita-cita sewaktu kecil. Apakah saya akan menjadi guru? Kalimat itu yang saya tanyakan pada diri sendiri. Rasa-rasanya itu tidak mungkin mengingat kepribadian saya yang tertutup dan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
Semasa mahasiswa saya cukup sering mengunjungi perpustakaan kampus, sekedar membaca koran, mencari buku referensi untuk membuat makalah, atau meminjam buku untuk bacaan pribadi. Suatu hari saya menemukan buku unik dengan judul Sokola Rimba, membaca tulisan di cover belakangnya membuat saya tidak bisa untuk tidak meminjam buku tersebut. Segera saya pinjam buku itu dengan penuh penasaran ingin mencermati isinya. Sebuah buku yang mengubah cara pandang hidup saya tentang pendidikan, di Indonesia khususnya.
Ya, menjadi guru itu bukan hanya mereka yang berprofesi sebagai guru dengan SK-nya, bukan hanya mereka yang berseragam, pergi ke sebuah gedung yang dinamakan gedung sekolah, bukan hanya itu, tetapi esensinya guru itu adalah kamu yang bergerak serta sadar betapa pentingnya membantu dan mendampingi generasi muda kita menuju kehidupan lebih baik, kehidupan yang memberikan manfaat bagi sesama makhluk hidup lainnya. Apakah ada kaitannya cerita saya ini dengan menjadi guru mengaji? Biarkan saya melanjutkan tulisan ini sehingga kamu bisa menemukan sendiri kaitannya.
Saya tidak bisa menjelaskan lebih mengenai pengaruh buku Sokola Rimba tersebut yang memang sedikit banyak mengubah pola pikir saya tentang dunia pendidikan. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, tulisan ini bukan untuk mereview buku, tulisan ini untuk menuliskan kisah saya pribadi menjadi guru mengaji di SIT.
Terik matahari di luar tidak membuat saya dan teman-teman ingin cepat-cepat beranjak pergi. Jelas saja, kami berada di dalam ruangan ber-AC, kami tengah asyik membicarakan persiapan wisuda kelulusan yang sudah di depan mata. Dering handphone milik saya kemudian berbunyi, dari nomor tidak dikenal, saya menjauh dari teman-teman begitu tahu kalau seseorang yang menghubungi dari SDIT Al-Uswah, sekolah swasta dimana saya menempatkan surat lamaran kerja beberapa bulan sebelumnya. Saya diminta untuk datang ke SDIT Al-Uswah esok harinya. Alhamdulillah, semoga Allah memudahkan jalan saya.
Dua hari sebelum wisuda saya mulai bekerja di SDIT Al-Uswah sebagai staf administrasi. Kenapa sebagai staf administrasi? Bukankah diawal tulisan saya menyebut-nyebut guru mengaji? Begitulah. Saya melamar sebagai staf atau Tenaga Kependidikan di beberapa sekolah dasar karena saya cukup menguasai Microsoft office, saya belum percaya diri jika harus menjadi guru formal. Saya ingin beraktivitas rutin (bekerja) setelah dinyatakan lulus pada saat sidang skripsi. Ingin bekerja dibidang ketatausahaan karena yakin saya mempunyai kemampuan dasarnya, yaitu komputer. Memilih sekolah dasar karena saya ingin dekat dengan anak-anak, pengalaman Butet Manurung masih melekat di hati dan pikiran saya. Seperti Butet, mendedidikasikan diri dalam dunia pendidikan merupakan impian saya. Dari beberapa sekolah yang saya datangi, akhirnya saya diterima di SDIT Al-Uswah Pamekasan, tempat dimana saya bisa belajar banyak dan menemukan makna lain tentang hidup, tentang dunia anak-anak lebih dalam lagi dari apa yang saya dapatkan pada buku Sokola Rimba.
Enam bulan bekerja sebagai staf administrasi di SDIT Al-Uswah Pamekasan, tidak terhitung berapa banyak ilmu yang saya dapatkan. Bagaimana memberi pelayanan kepada orang lain, belajar tata usaha dengan sebenarnya, yang ternyata tidak cukup dengan hanya menguasi Microsoft office. Bagaimana bersikap terhadap anak-anak dan melihat mereka sebagai pribadi yang fitrah, serta masih banyak ilmu lainnya. Kemudian di penghujung tahun, Desember 2014, saya bersama teman-teman sesama Guru dan Tenaga Kependidikan mengikuti tahsin metodologi UMMI di sekolah. Kami manfaatkan waktu libur semester untuk belajar tahsin selama 6 hari. Mengikuti tahsin tesebut membuat saya dan rekan-rekan guru sadar bahwa ternyata masih banyak yang perlu kami perbaiki. Semoga bermanfaat ilmu yang kami dapatkan.
Memasuki semester II tahun ajaran 2014-2015, saya menerima amanah itu, menjadi guru mengaji kelas 1 di SDIT Al-Uswah Pamekasan, menggantikan guru sebelumnya yang resign dari sekolah. Awalnya saya sempat ragu sebelum menerima amanah tersebut, bertanya kepada rekan sesama guru mengaji, “Kenapa saya, ibu?” Mereka (rekan guru) memberikan motivasi kepada saya, mereka percaya saya pasti bisa. Kemudian teringat akan hadist yang saya dapatkan dari belajar tahsin, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan yang mengajarkannya.” Baik, inilah saatnya saya menjadi sebaik-baik kalian seperti sabda Rasulullah SAW. Amanah itu saya terima dengan penuh harapan kepada dzat Yang Maha Mengetahui. Semoga saya diberikan kemudahan dalam mengemban amanah ini. Saya berganti posisi dari mendampingi anak-anak pada saat kegiatan jurnal dengan kemudian mendampingi dan membimbing anak-anak belajar tahsin atau mengaji.
Saya masih perlu banyak belajar, terutama menghadapi anak-anak. Alhamdulillah, enam bulan membimbing 20 anak belajar tahsin, tidak ada tantangan yang perlu saya khawatirkan. Saya pun bisa menangani administrasi pelayanan di sela-sela mendampingi anak-anak. Apakah semulus itu perjalanan saya mendampingi anak-anak belajar tahsin? Tentu saja tidak, cerita berubah ketika saya dihadapkan pada situasi baru pada tahun ajaran 2015-2016.
Hasil rapat kerja dengan seluruh guru disimpulkan bahwa guru mengaji dibagi berdasarkan jilid, dan siswa menyetorkan hafalan Alquran kepada guru mengajinya, bukan lagi kepada guru kelas seperti tahun ajaran sebelumnya. Tujuannya, agar bacaan (hafalan) anak didik kami sesuai standart sebagaimana yang telah kami pelajari dari mengikuti tahsin bersama Tim UMMI Foundation. Sebagai guru mengaji saya pun diamanahi untuk membimbing dan mengkoreksi hafalan Alquran anak didik yang mengaji kepada saya, yang awalnya tidak pernah saya ketahui bagaimana hafalan mereka. Di tahun ajaran 2015-2016 saya memegang UMMI jilid 3. Dari semua kelas, ada 38 anak yang mengaji dan menyetorkan hafalan kepada saya. Bersama saya mereka belajar tahsin setiap pagi dari hari senin sampai kamis, dan menyetor hafalan Alquran setiap hari jum’at. Saya guru megaji yang paling banyak memegang siswa pada waktu ini
Hari perdana, kedua, dan ketiga membimbing anak-anak tahsin, saya merasa baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi di hari keempat, saat anak-anak belajar di halaman yang tingkat kesulitannya lebih tinggi, saya kewalahan, padahal mereka hanya mengaji separo halaman. Waktu satu jam seperempat yang diberikan sekolah tidak cukup untuk mereka belajar tahsin bersama saya, disamping metode yang kami gunakan masih individual karena memang tidak memungkinkan kami menggunakan metode klasikal, terkait waktu dan media pula yang menjadi pertimbangannya.
Sebelumnya saya belum menjelasakan, di SDIT Al-Uswah Pamekasan anak-anak memulai kegiatan pukul 07.00 WIB. Mereka tidak langsung mengikuti pembelajaran di kelas, melainkan ada kegiatan pagi yang harus mereka ikuti, yaitu shalat dhuha, fonik, jurnal, dan mengaji. Kegiatan pagi ini dimulai pukul 07.00 WIB dan selesai pukul 08.15 WIB.  Pukul 08.15 WIB sampai dengan 08.30 WIB digunakan untuk snack time. Barulah pada pukul 08.30 WIB anak-anak memulai pembelajaran tematik di kelas masing-masing. Bisa dibayangkan kegiatan tahsin bersama 38 siswa? Menggunakan metode individual dengan waktu satu jam seperempat? Dan masih berbagi waktu pula dengan kegiatan yang lain? Ya Allah, betapa waktu itu saya sangat kewalahan. Beberapa anak terpaksa tidak mengaji karena waktu kegiatan pagi mereka telah habis, padahal jatah waktu snack time juga telah saya ambil. Sedangkan di hari jum’at, lebih lama lagi waktu yang kami butuhkan, semrawut pula kegiatannya.
“Bu Nikmah, ada wali murid di kantor, mau bayar katanya,” Lapor salah seorang guru. Saya yang pada saat itu sedang menyimak bacaan anak-anak hanya bisa menganggukkan kepala dan terkadang berkata singkat, “Ya bu…” Selesai membimbing, saya berkata kepada anak didik yang tiba giliran antriannya. “Tunggu sebentar ya mas (atau mbak), ibu ada tamu.” Izin saya kepada anak-anak. Saya pergi ke kantor demi melayani wali murid, meninggalkan anak-anak didik yang sedang mengantri panjang bagaikan ular.
Demikian potretnya. Karena tugas utama saya di sekolah sebagai staf, maka tidak mungkin saya mengabaikan wali murid atau membiarkan mereka menunggu lama hingga saya selesai membimbing seluruh siswa. Sementara rekan saya, kepala staf, tidak setiap pagi standby di sekolah. Terkadang ia masih ke bank, terkadang ada pertemuan yang harus ia ikuti, terkadang ia ada di lembaga PAUD, karena memang dia yang mengepalai administrasi dari tingkat TPA-PAUD-SD. Saya berbagi waktu bukan hanya dengan kegiatan pagi lainnya, tetapi saya juga berbagi waktu dengan pelayanan administrasi.
Saya berkata kepada diri sendiri, saya tidak boleh mengecewakan anak-anak. Mereka yang sudah antri begitu lama agar bisa mengaji, tetiba saya stop dengan alasan waktu telah habis. Tersirat kekecewaan dari wajah-wajah mereka, dan saya tidak ingin mereka kecewa, walau ada juga satu dua anak yang justru senang karena mereka tidak perlu mengaji. Akhirnya saya berinisatif untuk datang lebih awal ke sekolah, saya memulai lebih dulu kegiatan pagi pada pukul 06.30 WIB. Saya mengajak anak-anak yang telah tiba di sekolah untuk segera antri mengaji kepada saya. Alhamdulillah, untuk urusan waktu mengaji atau belajar tahsin ini bisa terselesaikan. Tepat pada jam 08.15 WIB tidak terlihat lagi anak-anak masih antri mengaji.
Tantangan lain yang saya hadapi ketika membimbing siswa mengaji adalah masih ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan, kurang antusias, dan terlihat malas-malasan ketika membaca. Saya berharap anak-anak mencintai Alquran, senang mempelajarinya, bukan semata-mata karena paksaan, melainkan karena mereka menyadari betapa pentingnya Alquran itu dipelajari. Kesadaran seperti ini sulit ditemukan pada anak-anak, mereka masih dalam proses menemukan, belum pematangan. Sebagai guru mengaji sebisa mungkin saya hindari memaksakan kehendak saya kepada anak-anak. Saya pelan-pelan masuk dalam dunia anak-anak dan ketika saya sudah menyatu dengan dunia mereka saya hantarkan dunia saya kepada mereka, seperti yang pernah saya ketahui dari prinsip Quantum Teaching.
Pada anak yang mengalami kesulitan atau kurang antusias ini saya sering mengajak mereka berbincang, ketika selesai mengaji biasanya. “Mbak Urvi kalau pulang sekolah kegiatannya apa?” Saya bertanya. Yang ditanya hanya tersenyum, seperti malu bercerita. Saya mempersilahkan mbak Urvi menyelesaikan kegiatan pagi lainnya setelah sebelumnya menyisipkan kalimat “Di rumah mengajinya bersama bunda atau ayah ya...” pesan saya. Mbak Urvi kelas 2 waktu itu, mengajinya lambat dan sulit membedakan panjang pendek bacaan. Alhamdulillah pada semester II perkembangan mengaji dan hafalannya mbak Urvi sangat signifikan dibandingkan teman lainnya. “Mbak Urvi mengajinya sudah lancar ya,” saya memujinya, “Di rumah mengaji bersama siapa mbak?” Tanya saya, melanjutkan obrolan. “Sama mbak Luluk,” jawabnya. Mbak Urvi terlihat lebih percaya diri dibandingkan sebelumnya, ia tidak malu lagi berbicara atau menjawab pertanyaan, walau masih bahasa yang singkat menurut saya. Saya sangat bersyukur di rumah ada yang mendampingi mbak Urvi belajar mengaji, jadi tidak hanya mengandalkan apa yang dipelajari di sekolah. Saya melakukan hal yang sama kepada siswa lainnya, berharap pula siswa yang lain seperti mbak Urvi, di rumah belajar dengan didampingi ayah atau ibunya atau siapa saja yang bisa mendampingi. Terhadap permasalahan seperti tersebut saya komunikasikan dengan wali kelas, dan wali kelas meneruskannya kepada orang tua atau wali murid.
Kemudian bagaimana dengan kegiatan setoran hafalan Alquran? Pada paragraf-paragraf sebelumnya saya mengatakan kegiatan ini semrawut? Benar sekali. Kegiatan setoran ini penuh tantangan, mulai dari siswa yang belum bisa membaca Alquran, siswa yang tidak antusias menghafal, hingga siswa yang tidak tertib ketika setoran.
Saya masih menyimak hafalan salah seorang siswa waktu itu, tetiba di ujung, tempat anak-anak memanjang melingkar, terdengar keributan di sana, di tempat muslim. Astaghfirullahal‘adhim, batin saya beristighfar. Segera saya hampiri tempat asal keributan kemudian menengahi dua anak yang sedang ribut. Saya pegang tangan mereka satu-satu. Saya benar-benar dilema anatara harus meyelesaikan keributan itu atau melanjutkan menyimak hafalan siswa. Terlebih dahulu saya memisahkan dua anak yang ribut tadi, menjauhkan mereka satu sama lain. Saya mepersilahkan anak yang terlihat paling emosi supaya duduk di dekat saya, dan membiarkan anak satunya tetap di tempat semula. Saya pun melanjutkan menyimak hafalan anak didik yang terpotong.
Mendampingi kelas bawah memang diperlukan tenaga lebih, tidak cukup hanya sekedar mengingatkan mereka lewat lisan. Tidak tertibnya siswa inilah yang mengantarkan saya kepada koordinator guru mengaji. Saya mengusulkan perpindahan beberapa siswa dari saya kepada guru mengaji yang lain. Sudah beberapa minggu saya menyaksikan kegiatan hafalan tidak kondusif. Insya Allah saya bisa mengatasi 38 anak jika itu kegiatan tahsin, atau keseluruhan anak-anak kelas atas (kelas 4, 5, 6), tetapi untuk kegiatan menyetorkan hafalan Alquran dimana siswanya kelas bawah, jujur saya merasa tidak mampu. Alhamdulillah, usul saya diterima. Sekitar 10 anak pindah dari saya ke guru mengaji yang lain, Bu Ela, kebetulan siswa yang dibimbing bu Ela sedikit dibandingkan saya. Karena bu Ela adalah guru kelas maka, yang pindah mengaji kepada bu Ela adalah anak-anak didiknya bu Ela sendiri. Sebenarnya saya berat melepas mereka, anak-anak yang dipindahkan itu. Saya ingin tetap merangkul dan membimbing mereka. Apalah daya, tidak mungkin saya mengikuti perasaan pribadi dengan mengorbankan kemampuan-kemampuan mereka menghafal lebih baik dan lebih banyak lagi kepada bu Ela, yang tentunya diharapkan mereka lebih kondusif dibandingkan menghafal kepada saya yang tidak kondusif karena jumlah siswa yang terlalu banyak.
Keputusan yang tepat menurut saya dengan memindahkan beberapa siswa kepada guru mengaji yang lain, anak-anak menjadi lebih kondusif. Pada semester II tahun ajaran 2015-2016 kenaikan jilid mulai berjalan, beberapa anak didik saya naik ke jilid 4, beberapa siswa yang dari jilid 2 pun naik ke jilid 3. Alhamdulillah, ruang kelas baru telah selesai dibangun. Ketika tiba hari menghafal Alqur’an, saya bersama anak-anak yang biasanya berada di lantai bawah, berpindah tempat ke ruang kelas baru yang masih belum di sekat. Tempatnya luas memanjang.
Terkadang masih ada satu dua anak yang belum tertib ketika menyetorkan hafalannya, namun masih bisa di kontrol karena saya dan anak-anak telah membuat kesepakatan. Ketika ada anak yang ribut misalkan, maka sementara saya posisikan dia berada di luar ruangan sampai dia bisa tertib barulah diperbolehkan masuk kembali, bergabung dengan teman-temannya untuk menyetorkan hafalan.
Di semester II ini saya lebih intensifkan lagi hafalan anak-anak, khususnya mereka yang belum bisa membaca Alquran serta di rumah tidak ada yang bisa membantu. Sebut saja namanya Habib (bukan nama asli). Mas Habib baru naik jilid 3 menjelang akhir semester II di sekolah. Setiap harinya saya talaqqi dia. Saya ingin sekali membantunya. Dia sudah kelas 4 SDIT tapi belum bisa membaca Alquran, masih sangat terbata-bata ia membacanya. Ketika saya mengkomunikasikan masalah mas Habib kepada wali kelasnya, saya mendapat informasi bahwa di rumah mas Habib memang tidak mengaji, orang tuanya tidak mempunyai kemampuan mengajari dan tidak pula berinisiatif memasukkan anaknya ke tempat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Sedih melihat mas Habib, saya tertantang untuk bisa membantunya. Akhirnya saya menawarkan kepada mas Habib bagaimana kalau setiap harinya, selesai mengaji, saya dan dia murajaah hafalan Alquran sebagaimana target yang telah ditentukan pada masing-masing kelas. Mas Habib setuju. Saya talaqqi mas Habib, 1 sampai 3 ayat setiap harinya. Saya sangat terharu, betapa tidak, mas Habib tidak pernah mengeluh, tidak pernah sekali pun menolak tawaran yang saya berikan. Saya pernah menawarkan hal yang sama kepada anak yang lain, bukan untuk di talqqi, tapi hanya murajaah karena anak ini bisa membaca Alquran, tidak berlangsung lama anak itu mulai bosan, terbaca jelas dari raut wajahnya. Alhamdullah, menjelang penilaian akhir hafalan siswa, mas Habib mendapatkan nilai cukup memuaskan. Mas Habib bisa menghafal surah Al-A’la dan surah At-Thoriq dengan benar dan lancar.
Setiap anak berbeda, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Satu metode bisa berhasil kita terapkan kepada anak A, tapi belum tentu berhasil jika diterapkan kepada anak B. Anak-anak membutuhkan proses dalam belajarnya sehingga mereka bisa menguasai, gurupun membutuhkan proses untuk selalu melakukan inovasi pendidikan. Dalam hidup ini, semuanya membutuhkan proses. Saya mengetahui betul, guru-guru di SDIT Al-Uswah Pamekasan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Begitu pula guru-guru di luar sana. Banyak ilmu yang saya dapatkan dengan menjadi bagian dari keluarga besar SIT. Sudah sepantasnya saya membalas dengan mendedikasikan diri dalam dunia pendidikan, di SDIT Al-Uswah khususnya, seperti yang saya mimpikan pada tahun-tahun sebelumnya.
Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT. Dialah yang memudahkan jalan kita menuju kebaikan. Saat ini, tahun ajaran 2016-2017, saya memegang jilid 5 dengan jumlah siswa sebanyak 20 anak. Mereka sangat bisa dikontrol, mungkin karena rata-rata sudah kelas 4 dan 5, yangmana mereka sudah mengerti perintah dan tanggung jawab. Saya juga memiliki rekan baru, sesama staf administrasi. Segala urusan pelayanan diatasi oleh rekan baru saya, sehingga saya tidak lagi berbagi waktu antara kegiatan pagi dengan pelayanan administrasi. Terima kasih ya Allah.
Begitulah kisah saya menjadi guru mengaji di SDIT Al-Uswah Pamekasan. Ada suka dan ada duka pula yang saya rasakan. Ketika melihat anak-anak antusias menyetorkan hafalan maupun mengaji, saya bersyukur dan tetap menyemangati mereka. Ketika melihat anak-anak tidak bersemangat, lesu, saya merasa sedih dan selalu timbul pertanyaan, ya Allah apa yang harus saya lakukan untuk mereka?. Yang pasti, baik suka maupun duka, seorang guru harus tetap membantu siswanya, menyemangati siswanya, memberikan motivasi pada siswanya, mendoakan siswanya. Jika bukan karena pertolongan Allah, pasti menjadi sia-sialah usaha yang kita kerjakan. Semoga tidak sia-sia ilmu yang disampaikan guru kepada siswa-siswanya, semoga menjadi bekal amal tidak terputus untuk guru, dan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk mereka, anak-anak itu.
Satu hal yang selalu saya yakini semenjak membaca buku Sokola Rimba hingga dua tahun lebih menjadi bagian dari SIT bahwa menjadi guru itu bukan sekedar pilihan, melainkan cita-cita yang seyogyanya tertanam dalam setiap individu dewasa, apalagi bagi mereka yang memilih jalur guru sebagai profesi. Dari cita-cita itu lahir tanggung jawab mulia, bagaimana melahirkan generasi penerus yang cinta bangsa, negara, dan Islam khususnya. Wahai! Apapun profesimu, sesungguhnya engkau semua adalah seorang guru, ikhlas dan berbahagialah, karena dengan menjadi guru kita termasuk dalam kategori sebaik-baiknya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
 “Sebaik-baik mausia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
“Sebaik-baik kalian, yang mempelajari Alquran dan yang mengajarinya” (HR. Bukhari)
Barakallah. Semoga Allah memudahkan langkah kita berjuang di jalan-Nya, lewat jalur pendidikan ini. Amiin.

Pamekasan, 12 September 2016

Komentar