Cerpen : Kelenjar Misterius


KELENJAR MISTERIUS

Oleh Monik Arrayyan*

Aku mendatangi mereka sembunyi-sembunyi, menyakiti mereka, dan boleh jadi menyadarkan mereka. Aku… Tidak pernah diinginkan.”

Di tahun 2016, hujan di daerah Madura tidak terjadwal berdasarkan kalender Masehi. Biasanya, musim penghujan akan tiba diawal atau diakhir bulan Desember, dan baru berakhir di bulan Juni. Namun tahun ini tidak begitu, sepanjang tahun 2016 hujan dan panas tidak menentu, satu bulan hujan, satu bulan lagi kemarau. Musim saja bingung menentukan jadwalnya, apalagi para petani. Tapi jangan sekali-kali menyalahkan musim, karena ia anugerah dari Tuhan.

Memasuki bulan November 2016, hujan sedang deras-derasnya menyapu tanah Pamekasan, satu dari empat kabupaten di Madura. Bersamaan dengan turunnya hujan, samar-samar sosok itu menerobos dikerumunan anak-anak sekolah yang sedang menunggu jemputan pulang. Hujan telah berganti gerimis, sosok itu telah berhasil memasuki ruang gelap dalam diri salah seorang anak yang berkerumun tadi, Sosok itu bersemayam di area rahang, mengganggu kelenjar ludah anak itu.

“Mas Angga dijemput,” salah seorang guru memberitahu.

Angga menoleh ke arah gerbang sekolah, ia melihat ayahnya di kemudi sepeda motor yang masih menyala, dengan jas hujan menempel di tubuhnya. Angga berpamitan kepada teman-teman dan gurunya, ia tidak menyadari sesuatu sedang bersemayam di ruang gelap dalam tubuhnya.

#

“Dia belum demam,”

“Tidak apa-apa, sebentar lagi dia akan kedinginan, gejalanya mulai terlihat”

“Dia akan pergi ke sekolah”

“Itu bagus, semakin dia berkumpul dengan orang banyak, semakin mudah kita menyebar”

Sosok tanpa nama di dalam tubuh Angga bisa berbicara. Ternyata bukan hanya satu, begitu sosok itu berada di kegelapan, ia akan beranak-pinak, mendesak ingin keluar, mencari korban selanjutnya.

Angga tiba di sekolah dengan wajah datar. Pagi itu, Angga tidak ceria seperti hari-hari sebelumnya, ia terlihat tanpa tenaga. Sebelum berangkat ke sekolah Angga tidak sarapan, hanya minum susu. Selain karena dia tidak suka makan nasi, entah sejak kapan dia memiliki masalah dengan rahangnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Assalamu’alaikum…” Angga mencium tangan ibu guru yang bertugas menyambut kedatangan para siswa.

Tanpa Angga sadari, sosok yang bersemayam di rahangnya beringsut perlahan, menggantung di langit-langit mulut kemudian menerobos keluar, menempel di punggung tangan ibu guru. Sosok itu tertawa senang, ia bisa mencari mangsa baru, menularkan lebih banyak lagi sosok-sosok sepertinya.

Selama jam pembelajaran berlangsung, Angga tidak fokus mengikuti, ia kedinginan, lapar, dan juga rahangnya semakin nyeri. Saat jam makan siang pun Angga enggan mengantri, padahal perutnya sudah keroncongan.

“Mas Angga kenapa?” Ibu Guru duduk di sebelah Angga.

Angga menggeleng, “Tidak apa-apa, Bu.”

Ibu Guru memeriksa dahi Angga, sedikit panas.

“Mas Angga sakit?” Ibu Guru memastikan.

Lagi-lagi Angga menggeleng, “Tidak”

“Baiklah, kalau begitu mari makan, teman-teman yang lain sudah antri”

Angga patuh pada ibu Guru, ia ikut mengambil antrian bersama teman-temannya. Angga kembali ke tempat duduk setelah piringnya terisi nasi, sayur, lauk-pauk, dan krupuk sebagai pelengkap.

“Kenapa tidak dimakan, Mas?” Tanya ibu Guru ketika melihat makanan di piring Angga masih penuh.

“Sakit, Bu, tidak bisa mengunyah,” Angga mengadu kesakitan, tadi ia sudah mencoba memakan nasinya.

“Tidak bisa mengunyah?” Ibu Guru heran.

Angga mengangguk, ia menangis, sambil menunjuk rahangnya, “Sakit, Bu.” Tangis Angga semakin keras.

Ibu Guru memeriksa rahang yang ditunjuk Angga, bengkak, badan Angga juga semakin panas.

“Nasinya dibungkus ya, dibawa pulang. Ibu akan menghubungi Bunda mas Angga”

Ibu Guru bergegas menghubungi bundanya Angga.

#

Esok harinya di rumah Angga, bundanya mendapat kabar dari wali kelas satu,  ada dua anak selain Angga yang tidak masuk sekolah dikarenakan sakit. Sama seperti Angga, anak-anak itu juga terinfeksi virus yang menyerang kelenjar ludah. Penyakit yang dikenal dengan nama mumps atau parotitis dalam dunia kedokteran ini sifatnya menular. Anak-anak usia sekolah dasar rentan tertulari, dan tidak menutup kemungkinan virusnya pun dapat menyerang orang dewasa. Umumnya, masyarakat mengenal jenis penyakit ini dengan nama gondongan.

Angga setengah terbaring di ranjang, panasnya mulai turun, namun ranghangnya semakin membengkak. Di dekatnya masih ada Bunda yang baru selesai menyuapinya bubur.

“Bunda, maafkan Angga ya, Bun, selama ini Angga sering merepotkan Bunda.”

Bunda menatap Angga, tak percaya kalimat tersebut akan diucapkan putranya.

“Angga janji, Bun, mulai sekarang Angga tidak akan lagi pilih-pilih makanan. Lebih baik makan apa yang ada Bun, dari pada tidak bisa makan sama sekali.”

Bunda memeluk Angga.

Ada hikmah dibalik serangan virus ini. Alih-alih mengeluh dengan sakitnya, justru Angga menyadari kekeliruannya selama ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan seorang ibu selain melihat anaknya tumbuh dengan pemikiran yang bersahaja, selalu mengambil sisi positif dalam setiap keadaan.

Sosok misterius bernama mumps itu tersenyum menyaksikan kisah dihadapannya. Selama perjalanannya menyerang manusia, ia selalu mendengar keluhan, jarang melihat manusia mengambil hikmah dari sakit yang diderita.

“Selamat tinggal, Angga…”

Untuk terakhir kalinya mumps berbicara.

Pamekasan, 02 Januari 2017


* Penulis bekera sebagai Staf Administrasi di SDIT Al-Uswah Pamekasan, dan  bergabung di Forum Lingkar Pena Cabang Pamekasan.




Keterangan : Cerpen ini pernah dimuat di Kabar Madura edisi 19 Januari 2017


Komentar