Cerpen : Terminal Terakhir

Terminal Bangkalan, Madura


Oleh Monik Arrayyan

Treng… treng… treng…
Bel istirahat berbunyi. Agaknya semua murid di SMAN 1 Nusa Bangsa lega mendengar bunyi bel itu, tak terkecuali murid-murid di kelas XIB yang sejak jam pertama sampai jam istirahat full dengan mata pelajaran matematika super ruwet, apalagi guru yang mengajar adalah guru yang paling killer di sekolah.

Waktu istirahat adalah yang paling disukai para murid, karena selain bebas dari pelajaran, waktu istirahat juga peluang untuk bisa kabur, bagi siswa yang doyan bolos tentunya. Lain halnya dengan Cindy dan Amel, mereka berdua membiasakan diri ke kantin jika waktu istirahat tiba. Menurut mereka, makan dan minum adalah obat penenang  untuk otak yang telah diputar balik memikirkan dan mengerjakan soal matematika yang tidak mereka pahami. Apalagi, tadi waktu di kelas Cindy habis cekcok dengan Radit, sang ketua kelas.

“Radit tuh bener-bener nyebelin, kayaknya dia nggak suka banget deh sama gue,” Ujar Cindy berapi-api. Dia masih kesal karena tadi Radit memojokkannya di depan teman-teman sekelasnya.

“Sudahlah Cin, ini juga bukan sepenuhnya salah Radit,” kata Amel, niatnya ingin meminimalisir masalah diantara kedua temannya.

“Jadi maksud lo, gue juga salah gitu?” Darah di tubuh Cindy mendidih mendengar perkataan Amel.

“Bukan gitu Cin, ya mungkin Radit sakit hati kali, selama ini kan omongan lo selalu kasar ke dia,” Amel mencoba menjelaskan.

“Bodo’, mau sakit hati kek, mau nggak., sama sekali nggak penting,” ucap Cindy ketus.

“Mending lo minta maaf gih sama Radit. Nggak baik lagi musuhan sama teman, nanti nyesel lho karena nggak sempat minta maaf.” Hati-hati Amel bicara, takut Cindy naik darah lagi. Amel sudah tidak tahan mendengar sahabatnya itu setiap hari beradu mulut dengan teman satu kelasnya.

“Dari pada gue dengerin lo, mending gue ke perpus, belajar untuk periapan ujian kenaikan kelas nanti. Da…” Cindy malah kabur, tidak menghiraukan apa yang baru saja Amel katakan.

***

Niatnya Cindy mau ke perpustakaan, tapi ketika hendak memasuki ruang perpustakaan Cindy tabrakan dengan seseorang yang selama ini selalu menguji kesabarannya. Siapa lagi kalau bukan Radit.

“Kalau jalan lihat-lihat dong, nggak punya mata ya lo.” Cindy marah.

“Eh, Non, lo yang punya mata tapi tidak difungsikan pada tempatnya. Mata itu untuk melihat ke depan, bukan ke belakang.” Tentu Radit tidak mau disalahkan begitu saja.

“Lo nyalahin gue, jelas-jelas lo duluan yang nabrak.” Cindy tambah kebakaran jenggot

“Emang susah ngomong sama lo. Selalu menyalahkan orang lain tapi diri sendiri tidak mau disalahin” Radit berlalu, membiarkan Cindy mengomel-ngomel sendiri.

“Dasar nyebelin.” Umpat Cindy

***

Usai sudah semua kekhawatiran murid-murid SMAN 1 Nusa Bangsa. Semuanya merasa lega dan senang karena ternyata usaha mereka belajar selama 2 semester ini tidak sia-sia. Nilai rata-rata para murid di atas 70%, semua murid naik kelas.
Cindy dan Amel mendatangi sekolah, mereka dan teman-teman yang lain ingin mengetahui informasi kelas yang akan mereka tempati di tahun ajaran selanjutnya. Begitu melihat papan pengumunan, Cindy dan Amel merasa lega karena mereka bisa satu kelas lagi.

“Nggak nyangka banget ya Cin, sekarang kita sudah kelas 3.” Ujar Amel di tengah-tengah kerumunan murid yang sedang melihat papan pengumuman.

“Nggak kerasa ya, bentar lagi kita sudah mau lulus.” Cindy menanggapi.

“Eh, ada hal yang mesti lo lakuin, lo nggak lupa kan?”

“Ya, gue tahu. Sekarang waktunya gue minta maaf sama Radit. Puas lo.”

“Ih, kok malah nggak ikhlas gitu sih?”

“Hehehe. Nggak kok, kali ini gue serius.”

Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah belakang Cindy dan Amel, menghentikan obrolan mereka.

“Hai kak Amel, kak Cindy…” Sapa seorang gadis kepada mereka.

Cindy dan Amel saling pandang, seingat Amel, Nisa, nama gsdis dihadapan mereka ini adik kelasnya, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Radit.

“Nisa kelas satu bukan?” Tanya Amel.

“Maksudnya sekarang sudah kelas dua?” Cindy merevisi pertanyaan Amel.

Nisa mengangguk, “Begini Kak, ada titipan salam dari kak Radit. Kak Radit minta maaf ke temen-temen kelasnya. Tolong dimaafkan jika misalkan kak Radit punya salah, Kak.” Terang Nisa.

“Memangnya kenapa dengan Radit? Bukankah lebaran masih tinggal satu setengah bulan lagi.” Amel heran sekaligus penasaran.

Nisa menjelaskan semuanya. Ternyata Radit pindah ke luar kota, ikut kedua orang tuanya. Sebelum Nisa berangkat ke sekolah, Radit dan keluarganya lagi siap-siap berangkat ke Terminal.

Cindy memandang Amel, “Terus gimana dengan gue, Mel?”

“Ayo kita susul,” Amel menarik tangan Cindy, melupakan Nisa yang terbengong melihat kepergian mereka.

Cindy dan Amel sampai di terminal. Mereka tidak menemukan bus jurusan ke Surabaya. Cindy bertanya kepada petugas loket, Cindy mendapat laporan kalau bus jurusan ke Surabaya baru saja berangkat, sekitar satu menit yang lalu.

Betapa sangat kecewanya Cindy, dia kecewa pada terminal, terlebih terhadap dirinya sendiri. Ketika tiba di terminal tadi, dia memang melihat bus berangkat, tidak disangka bus itu adalah bus yang dinaiki Radit dan keluarganya. Siang itu, terminal menjadi tempat terakhir ia berjuang demi mengucapkan kata maaf.

***

“Cindy, sini bolanya, kok malah bengong sih,” Teriak Jovan, ketua tim basket di kelas tiga.

Amel yang dari tadi melihat Cindy hanya melamun, langsung menghampiri.

“Kenapa lo Cin? Kayak nggak semangat gitu,” Amel khawatir.

“Nggak apa-apa kok, Cuma gue lagi males main aja,” Jawab Cindy dengan wajah lesu. “Gue istirahat dulu ya,” Cindy meninggalkan lapangan basket.

Cindy tidak tahu harus berbuat apa, disaat dia mulai menyadari kekeliruannya pada Radit, eh, malah orang yang dimaksud pergi.

Ya Tuhan, kenapa aku baru menyadari kesalahanku. Amel benar, aku menyesal ketika tidak ada lagi kesempatan untuk aku minta maaf langsung padanya. Kenapa sih, Dit, lo nggak ngasih tahu jauh-jauh hari kalau lo mau pindah? Jika waktu mempertemukan kita kembali, satu hal yang ingin gue ucapkan, maafkan gue, Radit.

Pondok Pesantren Matsaratul Huda, 2008

Komentar