Oleh Monik
Arrayyan
Berjalan diatas kerikil, kaki pastilah terasa
tertusuk-tusuk benda tumpul, beruntung bila demikian, karena bisa jadi benda tumpul
itu menjadi sangat tajam, mungkin bisa lebih tajam dari jarum sekalipun. Apalah
arti semuanya, hanya membayangkannya saja hatinya meringis, apalagi jika
sekarang ini dia benar-benar melakukkannya, berjalan di atas hamparan kerikil
di depannya, seperti yang ia bayangkan tadi.
Entah bagaimana kerikil-kerikil itu bisa terhampar di dekat pasir putih pantai Wediombo, karena letusan gunung kah? Atau kerikil itu bertaburan dengan sendirinya? Memangnya ada yang peduli? Tetapi pastilah Tuhan tidak menjadikannya sia-sia. Di pantai Wediombo Yogyakarta, terdapat banyak kerikil tajam berhamburan di bibir pantainya.
Bagi kebanyakan orang yang berkunjung ke pantai Wediombo, waktu pagi terasa begitu damai dan sejuk, waktu yang tepat untuk refleksi diri dan menikmati salah satu keindahan alam di Indonesia.
Entah bagaimana kerikil-kerikil itu bisa terhampar di dekat pasir putih pantai Wediombo, karena letusan gunung kah? Atau kerikil itu bertaburan dengan sendirinya? Memangnya ada yang peduli? Tetapi pastilah Tuhan tidak menjadikannya sia-sia. Di pantai Wediombo Yogyakarta, terdapat banyak kerikil tajam berhamburan di bibir pantainya.
Bagi kebanyakan orang yang berkunjung ke pantai Wediombo, waktu pagi terasa begitu damai dan sejuk, waktu yang tepat untuk refleksi diri dan menikmati salah satu keindahan alam di Indonesia.
Tapi tidak untuk gadis bermata sabit itu. Ia tidak menikmati liburannya, tidak merasakan tanda kebesaran-Nya di pantai itu. Bagaimana bisa melihat tanda kebesaran-Nya, jika gadis itu hanya melamun saja. Sungguh aneh dia, hanya membuat coretan tidak jelas di atas pasir, disaat teman-temannya yang lain asyik bercengkrama dengan alam.
Gadis itu mengalihkan pandanggannya ke tempat lain, melihat teman-temannya bersenda gurau, saling lempar-melempar pasir, terkadang tertawa. Mereka begitu dekat dengan gadis itu, berjarak hanya 10 meter, tapi seakan-akan mereka sangat jauh. Itulah yang dirasakan olehnya. Ia dekat tapi merasa jauh, ia bersama-sama tapi merasa sendiri, di sekelilingnya begitu ramai entah oleh deburan ombak atau suara terbahak temannya, tapi ia malah merasa sunyi, bahkan langit dengan cerahnya sinar matahari terasa kelam kelabu.
Perasaan seperti itu kembali menyerangnya. Ini sudah kesekian kali ia merasa tidak ada artinya, bosan dengan hidup. Apakah mereka juga merasakan hal yang sama? Atau hanya dia seorang yang merasakan?.
Kinar.
Itu nama panggilannya. Bersama ketiga sahabatnya, Maria, Shinta dan Levi, gadis itu menikmati liburan kuliah di Gunung Kidul Yogyakarta, di kediaman Maria. Tapi Kinar sepertinya tidak benar-benar menikmati liburannya.
###
“Kamu sangat pendiam hari ini, ada masalah
Kin?” Suara Maria menyadarkan Kinar dari lamunannya. Memang sepanjang perjalan
pulang dari Pantai Wediombo tak sepatah pun keluar dari bibir Kinar.
“Benarkah,” Secuil kata saja tanggapan Kinar.
Empat sekawan itu kini berada di warung kecil tak jauh dari kediaman Maria. Warung itu menjual aneka minuman segar berbahan buah, es kelapa, jus, sop buah, dan lainnya, tergantung stok buah yang disediakan pemilik warung dan pembeli bebas memesan minuman apa saja.
“Apa kau tidak menikmati liburan ini Kin?” Maria sedikit penasaran sekaligus khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. “Tempatnya tidak menarik ya?” Maria menerka sendiri jawaban dari pertanyaannya.
Kinar menggeleng. Bagaimana dia menjelaskannya pada Maria, Kinar sendiri tidak mengerti dengan keadaanya sekarang. Apa yang dia rasakan, yang dia alami, akankah sahabatnya mengerti?
Levi dan Shinta menghampiri mereka, masing-masing membawa dua kelapa yang siap diminum dan untuk dinikmati kesegarannya. Levi menyerahkan satu kelapa ditangannya kepada Kinar dan satu kelapa di tangan Shinta teruntuk Maria.
Shinta menyeruput air kelapanya. Ketiga temannya mendesah maklum melihat kelakuan Shinta yang tidak bisa jaim. Melihat cara Shinta minum dapat mencairkan suasana hati Kinar yang tadinya kosong. Kinar tersenyum tipis melihatnya.
“Kamu beruntung sekali Maria, lahir dan besar di tempat ini. Itulah kenapa kamu terlihat begitu alami” Shinta memulai percakapan.
Maria tidak mengerti dengan pernyataan Shinta. “Maksudnya?”
“Tahu nih, nggak ada hubungannya kali Shin” Levi menimpali.
Hanya Kinar yang tersenyum penuh arti mendengar perkataan Shinta, ia menduga pastilah sahabatnya akan menemukan topik menarik untuk dibahas, untuk dibanding-bandingkan dengan kehidupan mereka.
Shinta menyeringai ke arah Kinar. “Sudah kuduga, hanya Kinar yang mengerti maksudku. Benar kan Kin?”
Kinar mengangguk. Ingin rasanya ia tertawa melihat tatapan curiga Levi dan Maria. Kinar menahan tawanya yang hampir lepas, matanya membentuk sabit saking inginnya ia tertawa.
“Biar aku jelaskan,” Shinta memasang tampang serius. “Sekarang aku tanya, diantara kita berempat, sosok yang pembawaanya selalu tenang siapa?” tanya Shinta.
Shinta menatap satu per satu sahabatnya. Kinar masih dengan tawanya yang tertahan, sementara Maria dan Levi bingung dan tidak mengerti dengan maksud Shinta.
“Maria, kan” Kata Shinta, yakin sekali dia dengan pendapatnya. Shinta kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Maria itu paling bijak, paling stabil emosinya ketimbang kita-kita. Tahu kenapa? Itu karena Maria lahir dan besar di tempat damai seperti ini, di Gunung Kidul. Beda kan dengan kita, aku misalkan yang mungkin agak sedikit cerewet, itu karena rumahku di kota, dekat jalan raya. Suara kendaraan di jalanan nyaring banget sampai terdengar hingga ke dalam kamar. Terus Kinar yang lebih suka diam dan melamun, itu karena Kinar lahir di Sumatera, tahu sendiri kan di pulau itu sering terjadi kebakaran hutan hingga ada banyak asap yang ditimbulkan, penduduknya sudah capek mengadu pada pemerintah. Mereka lebih memilih diam dan melamun, menanti terlihatnya lagit biru. Dan Levi yang peduliiii sekali dengan penampilannya, sampai-sampai saking mecingnya dia, mulai dari tudung sampai sepatu, warnanya harus senada. Yang aku dengar nih, orang Surabaya memang gitu, modis,” Selesai sudah penjelasan panjang dari Shinta.
“Yeee… nggak gitu juga kali,” Levi merasa keberatan dengan pendapat Shinta.
Levi paling tidak suka jika ada orang yang menilai penampilannya. Menurutnya setiap individu berhak dan bebas mengekspresikan diri, orang lain tidak perlu ikut campur dengan itu. Makanya Levi paling tidak suka dengan acara kontes yang jurinya malah fokus mengomentari pakaian kontestan.
Maria dan Kinar tertawa melihat wajah cemberut Levi, sementara Shinta hanya menyeringai tanpa rasa bersalah.
“Entah kenapa untuk yang ini aku setuju dengan Shinta,” Berganti Kinar yang menggoda Levi. “Bagaimana kita dimasa kanak-kanak, akan terlihat ketika kita sudah dewasa. Lev, kamu pernah bilang waktu kecil kamu suka sekali main baju-bajuan, aku rasa itu pengaruh deh sampai sekarang.”
“Oke, terserah kalian,” Levi menyerah, tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
Mau bagaimana lagi, kalau Levi terus membantah maka urusannya akan semakin panjang, dua sahabatnya sudah satu suara. Ia tidak ingin jika bertambah satu lagi, dirinya bisa kalah argumen.
Empat sekawan itu tertawa bersama. Benar-benar persahabatan yang meyenangkan. Hal kecil saja bisa menjadi lucu, seperti melihat wajah cemberut Levi misalkan. Mungkin ini membingungkan menurut orang lain, apanya yang lucu? Begitulah mereka apabila bersama, tersinggung itu hanya agin lewat, candaan itu tidaklah serius, tidak menjadi penyakit di hati, tapi akan abadi dikenang.
Kinar sangat terhibur, berbeda dengan beberpa jam sebelumnya, saat dia masih di pantai Wediombo. Syukurlah perasaan kosong itu telah pergi. Semoga menghilang dan tak kan pernah kembali. Kinar berharap.
“O ya Kinar, ngomong-ngomong bagaimana keadaan keluargamu pasca bencana asap tahun ini?” Tanya Maria.
“Alhamdulillah semuanya mulai membaik, kata ibu aktifitas di sana juga sudah berjalan normal. Nenek juga sudah balik lagi ke rumah. Nenek nggak betah lama-lama di rumah paman karena katanya tidak ada kenangan yang bisa diingat”
“Syukurlah”
Mereka bertiga mengucapkannya bersamaan, lega mendengarnya.
“Hmm, dan aku pasti akan mengingat kenangan bersama kalian, termasuk saat ini,” kata Shinta, tulus.
Berbeda dengan sebelumnya, perkataan Shinta kali ini begitu serius, membuat ketiga temannya tersentuh mendengarnya.
“Uuu, jadi mellow deh dengerin Shinta bicara seperti itu” Levi menanggapi.
Tiba-tiba Maria teringat pesan oma. Sebelum mereka berangkat ke pantai Wediombo, oma berpesan mereka harus pulang sebelum waktu dhuhur tiba.
“Ehh, balik yuk. Nanti oma cari kita lagi, tapi aku bayar dulu ya”
“Oke”
###
Langit Desember di Gunung Kidul terlihat berbeda,
tidak ada bintang, tak nampak pula sinar rembulan, padahal saat itu masih
tanggal 14 Hijriyah, malam yang seharusnya terang benderang oleh sang bulan,
menjadi gelap karena terhalang gumpalan awan penghujan.
Hampir tengah malam. Empat sekawan masih terdengar berisik di teras rumah Maria. Ada saja yang mereka bicarakan, mulai dari masa kecil, keluarga, dosen di fakultas mereka, sampai pada mang bakso langganan mereka di kampus, pun tak luput dari pembicaraan. Mengenang sesuatu yang telah berlalu memang paling mengasyikkan bagi kebanyakan orang, termasuk empat sekawan itu.
“Ehhmm…”
Hampir tengah malam. Empat sekawan masih terdengar berisik di teras rumah Maria. Ada saja yang mereka bicarakan, mulai dari masa kecil, keluarga, dosen di fakultas mereka, sampai pada mang bakso langganan mereka di kampus, pun tak luput dari pembicaraan. Mengenang sesuatu yang telah berlalu memang paling mengasyikkan bagi kebanyakan orang, termasuk empat sekawan itu.
“Ehhmm…”
Suara berdehem oma menyapa mereka, membuat empat sekawan itu serempak menoleh ke arah munculnya suara.
“Eh, oma”
Maria setengah kaget melihat omanya berdiri tak jauh dari mereka. Maria melihat jam dinding yang terpasang tepat di atas pintu, kemudian beralih ke arah oma, heran, seharusnya sudah waktunya oma istirahat.
“Oma belum tidur?” Tanya Maria.
“Belum ngantuk. Boleh Oma gabung?”
“Tentu saja boleh. Kesini Oma, kita ngobrol-ngobrol,” ajak Shinta.
Oma menghampiri mereka, ikut-ikutan duduk di teras. Sementara empat sekawan duduk berbaris di hadapan oma.
“Oma, ayo ceritakan masa muda oma,” pinta Levi
“Setuju tuh, cerita yang menarik oma,” tambah Shinta
“Asal jangan cerita cinta ya oma, basi,” Kinar ikut-ikutan menambahi.
“Ihh, nggak apa-apa kali cerita cinta. Justeru itu yang menarik” protes Shinta.
“Kalian seperti anak kecil yang minta dibacakan dongeng tahu,” komentar Maria.
Oma tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat empat gadis yang duduk menyila di depannya. Oma seperti melihat gambaran dirinya ketika masih muda.
Oma sekali lagi terseyum melihat Maria, dkk. Ada sesuatu yang harus Oma sampaikan kepada mereka, sesuatu yang mungkin berguna bagi kehidupan cucunya beserta teman-temannya di masa yang akan datang.
“Oke teman-teman, sebaiknya kita tidak berisik, biarkan Oma yang bicara”
Shinta ceriwis lagi. Kali ini ia mengingatkan dan teman-temannya patuh, bukan karena perintah Shinta yang menyuruh mereka tidak berisik, tapi karena mereka menunggu oma bicara.
“Melihat kalian, Oma jadi teringat masa muda Oma. Penuh semangat, bawel, dan selalu ingin tahu,”
Oma selalu terseyum ketika bicara, senyum hangat sebagaimana Maria tersenyum. Rupanya senyuman Maria itu warisan dari omanya.
“Oma tidak akan bercerita, tapi oma ada pesan untuk kalian”
“Pesan?” Tanya Maria.
Oma mengangguk.
“Tapi sebelumnya, Oma ada pertanyaan.” Oma menatap satu persatu gadis-gadis yang duduk di hadapannya, memastikan, apakah mereka siap dan dapat menerima pesan yang akan ia sampaikan.
Oma ragu-ragu ingin memulai, hingga pada akhirnya oma menemukan kalimat pembuka yang tepat untuk menyampaikannya, dengan beberapa pertanyaan.
“Apa kalian pernah merasa bosan dengan hidup?” Tanya Oma, menekan setiap kata yang diucapkannya. “Apakah kalian pernah merasa bosan dengan kehidupan kalian? bosan dengan rutinitas yang kalian kerjakan? Kalian bertanya-tanya kenapa sih hidup harus seperti ini? Kenapa sih hidup ini hanya begini-begitu saja? Apa kalian pernah merasakan itu?” Mendalam sekali oma melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu.
Mendengar pertanyaan seserius itu, Shinta reflek menggeleng.
Levi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil berfikir apakah dia pernah merasakan perasaan semacam itu?
Maria tertarik mendengarkan lebih lanjut penjelasan oma.
Kinar? Dia tertunduk, merasa seperti ada duri yang menggores hatinya. Pertanyaan oma tadi, jelas ia pernah merasakannya, pagi tadi adalah terkhir kali ia merasakan. Kinar mengangkat wajahnya, memberanikan diri melihat oma yang hendak melanjutkan penjelasan. Ia ingin tahu kenapa ia merasakan itu.
“Tapi aku pernah Oma bosan di kost-kostan. Tiap hari makan tempe, gimana nggak bosan coba,” Ceriwis Shinta kumat.
“Bukan waktunya bercanda Shin, ah” gerutu Levi.
“Memangnya Oma pernah merasakan hal semacam itu?”
Tanya Maria, penasaran. Yang dia tahu, omanya tidak pernah menunjukkan gejala-gejala
seperti pertanyaan-pertanyaan tadi.
Oma mengangguk
“Bukan bosan semacam itu maksud oma, Shinta, tapi lebih kepada bosan dengan kehidupan, ingin rasanya menghilang saja dari dunia ini. Bersyukurlah kalau kalian tidak pernah merasakan itu. Oma pernah merasakannya dan seakan-akan oma adalah manusia yang paling tidak berguna di dunia ini. Oma bertanya-tanya kenapa orang lain bisa sangat bahagia dengan hidupnya, sedangkan oma sesekali malah merasa bosan, jenuh, tidak mood, uring-uringan, dan semacamnya”
Oma tersenyum mengingat masa-masa itu, masa dimana oma merasakan gundah sekaligus masa dimana oma mulai menata ulang hidupnya menjadi lebih bermanfaat.
“Kemudian oma mulai merefleksikan semua kehidupan oma, sampai tiba pada kesimpulan bahwa selama ini, maksudnya selama oma belum menyadari kekeliruan oma, ternyata, oma hanya hidup untuk diri oma sendiri, egois, tidak punya niat yang jelas hingga semua terasa hambar, tidak menarik, yah perasaan semacam itulah. Oma sudah menemukan penyakitnya, dan oma hanya tinggal meracik obatnya,”
“Jadi obatnya apa oma?” Maria bertanya lagi.
Pertanyaan dari Maria itu telah mewakili rasa penasaran sahabat-sahabatnya, terutama Kinar, dia hanya diam saja, fokus menyimak setiap kata demi kata yang keluar dari bibir oma.
“Pahami, untuk tujuan apa kita hidup!” Jawab oma, mantap.
“Kenapa oma mengatakan meracik? Karena sungguh tidak mudah untuk bisa mengerti tujuan hidup itu sendiri. Sabar dan syukur adalah kunci dan pintu agar bisa memahaminya. Kalian mengerti kan maksud oma?” Tanya oma, memastikan kalau gadis-gadis yang duduk di hadapannya itu mengerti penjelasannya.
“Nah, pesan oma, mumpung kalian masih muda, masih kuliah pula, lakukanlah hal-hal yang memberikan manfaat, sebarkan manfaat sebanyak-banyaknya, nanti manfaat itu akan kembali pada diri kalian sendiri,”
Kata-kata oma masuk ke hati mereka yang paling dalam, menyentuh dan sangat mereka pahami. Kinar menghapus pelan matanya yang tiba-tiba berair. Kinar beringsut mendekati oma, memeluk oma, disusul kemudian Maria, Levi, dan Shinta. Mereka berpelukan layaknya keluarga, penuh kehangatan, dan penuh kasih sayang.
“Terima kasih oma,” ucap Kinar, begitu tulus terdengar.
Malam itu, Kinar benar-benar mendapat pencerahan dari omanya Maria, pencerahan yang mengubah pemikirannya di masa depan.
###
Hembusan angin masuk melalui celah-celah
jendela kamar kost Kinar yang sedikit terbuka, begitu sejuk terasa, begitu
menenangkan. Kinar mengambil nafas dan menghembuskannya lewat mulut. Ia bangkit
dari ranjang yang di duduki, mendekati jendela, perlahan membuka jendela itu
lebar-lebar. Agin berhembus kencang menerpa wajah Kinar, mengibarkan kerudung
segi empat yang ia kenakan, menggoyangnya hingga tak lagi rapi dilihat.
Hitungan bulan dimulai dari awal lagi, Januari, masih penghujan seperti di bulan Desember tahun lalu, lebih tepatnya bulan lalu. Kabut tipis menyelimuti kota Yogyakarta siang itu, tidak, lebih tepatnya lagi kabupaten Sleman karena secara adminstraif tempat kost Kinar berlokasi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Menyenagkan bagi Kinar bisa melihat pemandangan yang terhampar di depannya, bagunan-bangunan khas Yogyakarta, bagunan modern, hingga nampak pula secercah gunung merapi nan jauh di utara, semuanya terlihat indah dan mendamaikan hati orang-orang yang melihatnya, termasuk Kinar.
Setelah dari Gunung Kidul dua hari yang lalu, perasaan Kinar jauh lebih baik, ia bertekad akan menjadi lebih positif. Seperti pesan oma, ia harus mengerti untuk tujuan apa ia ada di dunia ini.
Ketika teringat oma, Kinar akan teringat pula dengan neneknya, bagaimana keadaannya di sana? Bagaimana keadaan keluarganya? Kinar sangat merindukan ayah dan ibu, nenek, kakak juga keponakannya yang kembar. Padahal malam tadi Kinar sudah mengobrol lama dengan keponakannya, tapi tentu itu tidak cukup untuk mencurahkan kerinduannya, tidak cukup hanya mengobrol melalui perantara teknologi, secanggih apapun teknologi itu. Bagi Kinar kerinduan itu hanya bisa tercurah lewat kebersamaan langsung, tanpa adanya perantara.
Handpohne Kinar berbunyi pelan, tanda ada pesan masuk. Kinar menjauh dari jendela tempat ia berdiri, berjalan ke arah ranjang dan mengambil handphone yang tergeletak disamping ransel miliknya. Rupanya whatsapp dari Maria. Kinar memegang jidatnya.
“Astaghfirullah…”
Tanpa membaca dulu whatsapp dari Maria, bergegas Kinar meraih ranselnya, berlari ke rak sepatu, memakainya dan merapikan tali sepatunya. Kinar berlari ke arah pintu, membuka kemudian menguncinya dari luar.
Kinar ada janji dengan ketiga sahabatnya, Maria, Levi, dan Shinta. Mereka berempat satu fakultas, satu jurusan pula, namun mereka beda kelas. Siang ini mereka berencana mengerjakan tugas bersama di perpustakaan.
Bagaimana aku bisa lupa. Nanti Shinta pasti ngomel-ngomel. Kinar tersenyum membayangkan reaksi Shinta melihat dirinya datang telat. Kinar bersepada ria dari tempat kost menuju kampusnya.
~ Selesai ~
16 November 2015
Komentar
Posting Komentar