Cerpen : Ketika Hati Bicara


KETIKA HATI BICARA

Oleh Monik Arrayyan*

Bertelanjang kaki menapak tanah, berdiri merentangkan tangan, mengambil nafas, menahan, kemudian mengembuskannya kembali. Ada sensasi berbeda jika melakukan itu pada saat fajar. Udaranya segar, dan sangat terasa manfaatnya bagi tubuh. Penelitian ilmiah menunjukkan, udara subuh mengandung zat zuurstof yang baik untuk pernafasan dan peredaran darah. Udara tersebut mencapai puncaknya pada saat subuh datang dan perlahan-lahan menipis hingga terbitnya maAkhirnya.
Akhirnya Fani bisa merasakan kembali udara subuh yang begitu menyegarkan. Apalagi sekelilingnya berdiri tegak menjulang pohon-pohon siwalan serta rerumputan berjejer rapi menghampar. Meskipun cahayanya remang-remang, tetap saja menambah cantik suasanan subuh di tempat Fani berdiri. Sudah lama gadis bernama lengkap Seffani Nur Aisyah itu merindukan saat demikian, berada di desa yang jauh dari hiruk pikuk alat transportasi menyesakkan seperti di kota. Subhanallah wal hamdulillah, betapa Allah menciptakan segala sesuatu dengan selalu membawa manfaat agar bisa dinikmati umat manusia.
Sudah dua tahun Fani tidak berkunjung ke tempat ini, sebuah desa tempat dia dilahirkan, rumah nenek dari pihak ayahnya, tempat yang selalu dia rindukan.
Fani mengambil langkah menuju rumah panggung. Tidak memasuki rumah, Fani memilih duduk di tangga yang menjadi penghubung ke rumah pangung itu. Karena terbuat dari kayu, Fani bisa merasakan tangga yang didudukinya sedikit lembap, mungkin embun malam beterbangan hingga ke dasar tangga.
Angin subuh sepoi-sepoi menerpa Fani, pikirannya menerawang jauh ke daratan pulau Jawa, sesuatu sedang menggangunya selama satu pekan terakhir. Fani memejamkan mata sedikit lebih lama, mengehela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Rupanya ada disini,” Terdengar suara serak di dekat Fani.
Seorang nenek berusia sekitar 60 tahun duduk disebelah Fani.
“Eh, Nenek,” Fani sedikit kaget melihat sang nenek yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya.
“Sejak kapan Nenek disini?”
“Makanya jangan melamun, jadi tidak tahu kan ada Nenek di dekat Fani”
Fani tersenyum malu. Neneknya sampai tahu dia sedang melamun, itu berarti neneknya memperhatikan Fani sejak tadi.
“Nenek tidak akan bertanya kenapa kamu melamun, hanya saja, jangan dijadikan kebiasaan. Bagaimana kalau ada jin atau setan lewat dan tiba-tiba kamu kesambet.” Nenek menakut-nakuti.
“Ah, Nenek ada-ada saja,” Fani masih tersenyum malu.
Nenek juga tersenyum, menambah jelas keriput di wajahnya.
Nenek memandang kedepan, begitu juga dengan Fani. Keduanya saling diam cukup lama. Sesekali Fani melirik neneknya yang terlihat begitu tenang, berbeda dengannya yang sedang menghadapi perang pemikiran, antara ingin mengatakan sesuatu atau sebaiknya tidak perlu. Kalimat itu hampir Fani lontarkan, tapi kemudian ia urung. Sebenarnya waktu dan suasanya sangat tepat, namun hati Fani yang belum siap. Bagaimana mungkin dia mengatakannya kalau hatinya saja masih ragu.
Tidak ada pembicaraan personal pada subuh itu.
***
Aga kareba[1], Nak?” Pertanyaan sama setiap kali berpapasan dengan orang-orang, lebih banyak ibu-ibu dengan segondrong pertanyaan menyertai. Sekolah dimana, Nak? Bagaimana kabar ayah dan ibu? Berapa usiamu sekarang? Wah, sudah bukan remaja lagi, kapan menikah? Sudah punya calon belum? Dan bla, bla…
Fani menggaris bawahi pertanyaan yang cukup mengganggunya, kapan menikah? Diusianya yang ke-20 tahun ini? Entah apa yang menjadi pertimbangan Fani, dia merasa masih terlalu dini membicarakan seputar pernikahan. Namun, justru kenyataan yang sedang dia hadapi bertolak dengan pemikirannya. Jika kenyataan menawarkan uluran tangan dari lelaki baik nan sholih, akankah dia menerima uluran tersebut, kemudian bersama saling menggenggam erat. Atau dia abaikan saja uluran itu, membiarkan tangan itu lunglai karena kecewa, tidak disambut seperti yang diharapkan pemiliknya.
“Bibi, apa alasan seorang perempuan menerima ajakan menikah?” Sambil terus berjalan Fani memulai percakapan penting itu.
Fani dan bibinya, Hana, telah selesai berbelanja di pasar. Fani sengaja membujuk bibinya agar berjalan kaki saja, ia beralasan ingin menikmati pemandangan desa sambil lalu berolahraga. Lebih dari itu, ada alasan lain yang hendak Fani tuturkan kepada bibinya, tutur kata yang sama dengan apa yang ingin dia sampaikan kepada neneknya subuh lalu. Masih tinggal satu kilo meter lagi hingga Fani dan Hana tiba di rumah, waktu yang cukup menurut Fani untuk membicarakan masalah penting ini.
“Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?” Aneh sekali mendengar pertanyaan Fani. Sejak kapan keponakannya mulai tertarik membahas tentang pernikahan, bahkan membicarakan kriteria lelaki idamannya saja dia tidak pernah.
Fani berhenti berjalan. Dipandangnya Hana lekat-lekat, “Fani bingung, Bi.”
Hana mengernyit. Benar-benar merasa aneh dengan keponakannya. “Bagaimana kalau kita makan roti dulu sambil duduk di saung itu?”
Bentuk saung yang mereka duduki sedikit unik, semuanya terbuat dari pohon jati, bahkan atapnya pun berasal dari daun jati yang ditumpuk-tumpuk. Hana membuka bungkus kardus berisi roti maros[2] yang sempat dibelinya di pasar, masih hangat, dan lebih bisa nikmati.
“Ayo ceritakan apa masalahnya, Bibi akan mendengarkan,” Hana menjulurkan roti maros kepada Fani.
Fani hanya melihat bungkus berisi roti itu, dia menggeleng, enggan memakannya disaat seperti ini.
Fani mulai bercerita. Awal perjalanannya di tempat kuliah hingga dia bertemu sosok pemuda baik bernama Rafan, sahabat dekatnya diawal-awal kuliah hingga sekarang pun. Tiga tahun Fani mengenal Rafan, tidak pernah terpikir olehnya suatu saat Rafan akan mengutarakan ajakan penting itu. Dua hari sebelum Fani tiba di Makassar, secara pribadi Rafan meminta Fani menjadi teman hidupnya. Rafan mengajaknya menikah. Will you marry me? Tentu saja bukan ajakan sevulgar itu. Cara Rafan mengatakannya sangat manis.
Aku cukup mengenalmu, Fani. Aku rasa kamu juga cukup mengenalku dengan baik. Aku membutuhkan teman yang bersamanya aku bisa berjalan beriringan, menggapai mimpi, menembus batas keraguan. Dan tidak aku temukan wanita seperti itu, kecuali kamu.
Fani tak menyangka Rafan akan mengatakan itu.
Fani, kita sama-sama telah baligh bukan? Maukah kamu menjadi teman hidupku? Aku dan kamu, kita saling menyempurnakan separo agama?
Berdesir hati Fani ketika mendengarnya. Ia tahu Rafan tidak sedang berkelakar. Rafan bukan pemuda seperti itu.
Masalahnya, Fani segera sadar dan merasa bingung. Apa yang harus dia katakan kepada Rafan, tidak pernah terpikir oleh Fani akan ada seorang pemuda melamarnya dalam waktu cepat, di usia yang masih tergolong muda.
Sejauh ini, Fani mengenal Rafan sebagai pemuda yang baik, cerdas, dan aktif dalam dakwah kampus. Fani menyukai Rafan sebagai teman. Tapi menyukai sebagai kekasih, apakah dia merasakannya? Kalau dia menerima ajakan Rafan, bagaimana dengan kuliahnya? Dia pasti tidak akan bebas seperti sebelumnya. Dia belum tahu memasak, pekerjaan rumah tangga juga jarang dia lakukan. Mengurus dirinya sendiri Fani merasa kewalahan, lalu bagaimana dia bisa mengurus orang lain.
Rafan memberi Fani waktu untuk memikirkan, Rafan akan mendengar jawabannya setelah Fani kembali ke Jakarta.
“Fani bingung, Bi. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran Fani,” Entah mengapa, Fani selalu merasa nyaman bercerita kepada bibi atau neneknya, termasuk pembicaraan sepenting ini.
Mata Hana berkaca-kaca, terharu mendengarkan cerita Fani. Ada seorang pemuda dengan berani melamar keponakannya tanpa melalui proses pacaran, pastilah pemuda itu bukan sembarang pemuda, disaat kebayakan para pemuda lain hanya bermain-main terhadap suatu hubungan.
Hana memeluk Fani. ”Tidak sayang, kamu bukannya bingung, kamu hanya merasa ragu dan takut. Bibi yakin kamu tahu darimana datangnya kedua rasa itu.”
Hana melepaskan pelukannya. Ia memegang tangan Fani, dan menatap penuh pesan. “Shalatlah! Minta petunjuk kepada-Nya. Jangan hanya melibatkan pikiranmu dalam masalah ini, libatkan juga hatimu. Hati itu untuk merasakan, serta akal untuk berpikir. Keduanya harus seimbang, sayang”
Pesan inilah yang ditunggu Fani, ia membutuhkan dukungan dari bibinya, dukungan utuk meyakinkan dirinya sendiri.
Matahari telah naik sepenggalah. Hana dan Fani beranjak dari saung, berjalan pulang ke rumah. Jika mereka berlama-lama mengobrol, Nenek pasti akan khawatir.
***
Sujud terpanjang sejauh Fani menyadarinya. Oh, Tuhan… Betapa hamba menggantungkan segala harapan ini hanya kepada-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Diakhir dzikir panjangnya, Fani tahu keputusan apa yang akan dia ambil untuk masalahnya. Rasa takut dan keraguan yang selama ini mengganggunya telah berguguran. Hatinya telah berbicara. Kenapa dia tertipu dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi? Tidak ada yang perlu dicemaskan, malam ini juga, Fani akan memberikan jawabannya kepada Rafan. Fani tidak akan membiarkan Rafan menunggu sampai satu setengah bulan lagi. Itu terlalu lama. Dan juga, ada bibi dan nenek yang mendukung Fani ketika akan menyampaikan berita penting ini kepada ayah dan ibunya.
   
Pamekasan, 14 Desember 2016




[1] Apa Kabar, dalam bahasa Bugis. Sedangkan bahasa Makassarnya adalah Apa kareba?
[2] Roti khas daerah Sulawesi Selatan. Kata Maros berasal dari nama sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan.

Komentar