Cerpen : Everything Is Gonna Be Ok!

Image : vayjournal.wordpress.com/2015/04/23/story-the-first-time-i-wore-hijab/


Monik Arrayyan


Siang itu matahari seperti merajuk, tidak mau menampakkan cahaya terangnya. Langit  mendung tertupi awan, warna pekatnya menyelimuti langit biru. Siang itu juga sekelompok mahasiswa semester VI keluar dari ruangan. Ada raut keceriaan di wajah mereka.
”Zahra...” Panggil salah seorang pemuda dari dalam ruangan.
”Ya, ada apa?” Tanya Zahra begitu pemuda itu menghampirinya.
”Ini bukumu?” Fakhri-nama pemuda itu-memperlihatkan buku yang dimaksud.
”Benar. Kenapa bisa kamu yang pegang?” Zahra heran, bukankah bukunya itu sudah dia masukkan ke dalam tas ranselnya.
”Tadi aku menemukannya di tempat kamu duduk, ” Fakhri menjelaskan.
”Oh, thanks ya Fakhri”
You’re welcome. Eh, sepertinya akan hujan, Ra. Ayo cepat jalan!”
Benar saja, baru lima langkah berjalan, rintik hujan turun. Fakhri dan Zahra terpaksa sedikit berlari menuju pintu gerbang kampus, mereka berteduh di tempat tunggu yang berdekatan dengan gerbang itu.
Sesaat keadaan membisu, hanya rintik hujan yang terdengar semakin mengguyur. Tidak ada orang lain di tempat itu, kecuali mereka berdua.
”Aku baca cerpenmu di Jawa Pos, bagus Ra. Nggak nyangka, ternyata temanku jago nulis juga, hebat.” Fakhri memecah keheningan diantara mereka.
”Wah, telingaku bisa mengembang nih, dipuji seperti itu”
Fakhri tertawa.
”Tapi terima kasih Fakhri, sudah memberi komentar,” Zahra tulus mengucapkannya. Fakhri yang dia kenal, selalu bisa memberikan semangat untuk teman-temannya.
Mini bus yang ditunggu datang juga, sedangkan cuaca masih hujan. ”Bagaimana denganmu?”
”Jangan khawatir, tubuhku kebal. Ayo menyebrang!”
Zahra menaiki bus, sedangkan Fakhri berlari menuju tempat kosnya.

@
   
”Lin, ikut kakak yuk, mau beli sesuatu nih.” ajak Zahra.
Linda yang saat itu sedang fokus membaca majalah, enggan mengeluarkan suara. ”Kenapa nggak pergi sendiri sih kak, lagian masih gerimis ini.”
Ayolah, nanti kakak traktir bakso, mau kan?” Zahra membujuk.
”Serius?” Linda memastikan kakaknya tidak sedang pura-pura menyogok.
Zahra mengangguk meyakinkan.
”Baiklah, aku ambil jaket dan kerudung dulu.” Linda beranjak ke kamarnya setelah sebelumnya meletakkan begitu saja majalah yang dia baca.
”Kakak tunggu di luar ya,” Zahra sedikit berteriak
Di luar, Zahra melihat Ibunya sedang memperhatikan lembaran-lembaran kertas, sesekali juga menulis di lembaran itu. Zahra berfikir ibunya pasti sedang mengoreksi tugas anak didiknya di sekolah.
”Bu, aku dan Linda keluar sebentar ya.” Zahra berpamitan.
Aini berhenti menulis, melihat ke arah Zahra yang telah duduk di sebelahnya. ”Tunggu hujannya reda dulu.”
”Ayo kak.” Suara Linda menghentikan percakapan Zahra dengan ibunya.
”Ya sudah, bawa sepeda ya? Hati-hati menyetirnya,” Pesan Aini.
”Oke, Bu.”
@
Warna langit masih abu-abu, hampir 4 jam lamanya, hujan yang kemudian hanya gerimis belum juga reda. Zahra dan Linda sepakat mampir ke warung bakso dulu, baru ke swalayan. Mereka berdua hanya mengenakan satu jas hujan, satu untuk berdua.
”Kenapa kak?” Tanya Linda dari balik punggung Zahra.
”Nggak tahu nih, kayaknya motornya bermasalah Lin,” Terdengar nada cemas dari Zahra.
Dari arah berlawanan bunyi klakson terdengar nyaring dan panjang. Bunyi itu berasal dari sebuah truk yang melaju begitu cepatnya, tepat pada saat motor yang dikendarai Zahra dan Linda oleng. Kecelakaan itupun tidak bisa dihindari, rintikan gerimis menjadi saksinya.

@

”Tidak. Ini tidak mungkin.”
”Tenanglah Ra, ini yang terbaik.”
”Terbaik apanya... Kakiku diamputasi, bagaimana mungkin ini yang terbaik.”
Ryan memeluk Zahra yang semakin histeris. Ryan tidak sanggup melihat adiknya, mata Ryan berkaca-kaca, menahan tangis.
”Tenanglah, semua akan menjadi baik jika kamu tenang,” Ryan mencoba menenangkan, ia mengelus kepala adiknya.
”Bagaimana dengan Linda, Kak, dia baik-baik saja kan?” Zahra mulai tenang namun suaranya masih sesenggukan.
Ryan terdiam, kemudian melepaskan pelukannya.
”Kak”. Zahra menunggu jawaban. Pandangan Zahra berpindah pada Aini.
”Ibu...”
Ibunya hanya menundukkan kepala
”Linda, Linda meninggal,” Akhirnya Ryan berhasil menyampaikan kalimat menyakitkan itu.
Tidak satu katapun keluar dari mulut Zahra.

@

Semenjak siuman, Zahra tidak mau bertemu dengan siapapun kecuali ibu dan kakaknya. Ia menolak kedatagan orang-orang yang bermaksud menjenguknya.
Siang itu, Zahra kembali histeris ketika teman-temannya kembali menjenguk, ia tidak bisa mengendalikan diri ketika melihat orang lain, ia merasa orang lain akan melihatnya dengan tatapan iba. Zahra tidak suka itu.
”Cepat kalian pergi!” Zahra berteriak, sambil menangis. ”Pergi!” ulangnya.
”Kalian semua sebaiknya pergi. Mengertilah, Nak.” Aini memohon, matanya berkaca-kaca.
”Ayo kita keluar...” Ajak Fakhri. Sejak memasuki ruangan dia hanya menatap Zahra, dadanya sesak melihat Zahra tidak bisa menguasai dirinya sendiri.
Semua temen-teman Zahra keluar. Sebelum pergi, Fakhri menatap sedih ke arah Zahra. Aini mengantar teman-teman Zahra keluar ruangan, dan setelah meminta maaf atas sikap Zahra, ia kembali masuk.
Aini menghela nafas, ia menghampiri Zahra yang masih menangis sesenggukan, ”Zahra, ibu tahu kamu sulit menerima semua ini, tapi mau sampai kapan sayang? Ayo bangkitlah! Karena yang ibu tahu Zahra anak yang kuat dan percaya diri”
”Maafkan Zahra, Bu...”

@

Pulang kuliah, Fakhri mampir ke rumah sakit. Ia berjalan menuju kamar rawat Zahra. Fakhri melihat Ryan di luar ruangan dan menghampirinya.
Ryan menyambut kedatangan Fakhri dengan senyum yang ramah. Ryan dan Fakhri memang cukup dekat, mereka berteman baik sejak pertama kali bertemu.
”Bagaimana keadaan Zahra kak?”
”Keadaannya mulai membaik, tapi dia masih tidak mau bertemu orang Far,” Jawab Ryan, datar.
Fakhri ingin mengatakan sesuatu, namun sesaat ia ragu. ”Kak, boleh aku masuk?” Tanya Fakhri, hati-hati sekali.
Ryan memegang pundak Fakhri, ”Masuklah, sekalian titip Zahra ya, aku mau shalat dulu.”
Fakhri menutup pelan pintu yang dibukanya, ia berjalan ke arah Zahra yang tertidur pulas. Fakhri kemudian membetulkan selimut yang menutupi Zahra, dan saat itu juga Zahra terbangun.
”Kamu... Kenapa Kamu disini.” Zahra sangat kaget melihat Fakhri berada di dekatknya. Zahra melihat sekeliling, tidak ada siapapun.
”Kak, Kakak,” Zahra berteriak memanggil Ryan.
”Kak Ryan lagi shalat, Ra”
”Pergi Fakhri. Cepat pergi!,” Zahra mengusir. Dia tidak melihat ke arah Fakhri, tidak mau.
Fakhri menggelengkan kepalanya. ”Tidak, sampai kapan kamu akan menghindari kami, Ra. Kamu bukan seperti Zahra yang kami kenal.”
Zahra tertunduk, ”Pergilah Fakhri, Aku mohon...” Zahra mulai menangis.
”Dasar bodoh!”
Zahra mengeryitkan dahi, mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah Fakhri
”Kenapa menatapku seperti itu? Aku benarkan, kamu memang bodoh, foolish!” kata Fakhri, sedikitpun ia tidak bermaksud menghina Zahra. Fakhri tahu, Zahra bukanlah orang lemah, dia berharap dengan berkata seperti itu Zahra dapat menyadari kesalahannya yang beberapa hari lamanya selalu menutup diri.
”Kau...” Bibir Zahra bergetar. Ia memalingkan wajah, menunduk lagi dan memegang erat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
”Kamu tahu kan, Ra, di luar sana banyak orang yang kondisinya lebih parah dari kamu, mereka tidak memiliki tangan, kedua kaki mereka tidak ada, tapi mereka tidak menyerah dengan nasib,”
”Kamu tidak akan mengerti, Fakhri.”
”Kamu salah, justru karena aku mengerti, makanya mengatakan ini,” Fakhri mencoba menjelaskan. ”Zahra, kamu pernah mengatakan, hidup ini seperti air yang selalu mengalir, jika tidak, air itu akan keruh. Jangan seperti ini, Ra, mengalirlah, bangkitlah!”
”Pergi Fakhri, aku tidak butuh ceramahmu,”
Fakhri menghela nafas, tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. ”Baik, aku pergi,” Ia menyerah.
Sebelum beranjak, Fakhri kembali berkata. ”Zahra, tidak peduli bagaimanapun kondisimu, aku akan selalu disampingmu.”
Air mata Zahra kembali mengalir, Fakhri mengerti tanda itu. Fakhri menganggukkan kepala. Percayalah. Tatapan mata Fakhri berbicara.
”Sampai kak Ryan datang, aku akan menunggu di luar. Panggil aku kalau membutuhkan bantuan. Assalamu’alaikum...”
Selepas Fakhri pergi, Zahra berbaring, membenamkan wajahnya di balik selimut. Zahra menangis.

@

Tiga tahun berlalu semenjak kecelakaan itu terjadi. Zahra bisa menguasai dirinya kembali dan tidak malu lagi jika bertemu orang-orang.
Kecelakaan yang dialami Zahra hampir membuat hidupnya kering, tanpa di tumbuhi apapun. Tetapi, berkat orang-orang disekitarnya, yang dengan tulus menyayangi dan memberikan motivasi, perlahan Zahra bisa bangkit dan percaya diri. Ia kembali menekuni bakatnya dalam menulis.
Di sepertiga malam setelah qiyamul lail, Zahra mulai menulis lagi. Sebelum ia membuka file naskahnya, ia sempatkan membuka e-mail terlebih dahulu.

Besok aku wisuda, Ra. Aku senang karena sebentar lagi akan pulang ke Indonesia, dan bertemu Zahra...
Fighting ya!!!

Zahra tersenyum membaca email itu, dari Fakhri rupanya. Lelaki itu yang banyak membantu Zahra. Dia juga yang mengembalikan semangat Zahra untuk kembali menulis.
Zahra teringat pesan Fakhri ketika terakhir kalinya mereka bertemu, ketika lelaki itu berpamitan ingin melanjutkan kuliah ke Malaysia. Fakhri benar, semua akan baik-baik saja kalau ia mau bersabar. Segalannya akan baik kalau ia mau mensyukuri takdir. Segalanya akan baik kalau ia selalu berfikir positif. Everyting is gonna be ok!. Kata-kata Fakhri telah menjadi motto hidup bagi Zahra. Fakhri, lelaki yang mencintainya dan ternyata juga dia cintai.
Zahra sempat menyerah mengenai perasaannya terhadap Fakhri, namun ternyata Tuhan berkehendak lain, meski jauh, Tuhan tetap mendekatkan mereka dengan cara-Nya. Setelah melalui shalat istikharah dan berbagai pertimbangan, tidak ada lagi alasan bagi Zahra untuk menolak Fakhri menjadi bagian dalam hidupnya. Lagi pula, Zahra kini bisa berjalan seperti orang-orang pada umumnya. Dengan kaki palsunya, kini Zahra bisa beraktivitas laiknya masunia normal.


The End

Februari 2013

Komentar